Urgensi Ukhuwah dan Bahaya Perpecahan: Pentingnya Ilmu (Bag. 1)
Indonesia merupakan salah satu negara besar dengan kemajemukan yang sangat tinggi. Bermacam ras, suku, dan agama menjadi kekayaan bangsa ini. Termasuk di dalamnya adalah umat Islam sebagai mayoritas. Komunitas dan organisasi Islam pun secara kuantitas sangat banyak. Kemajemukan ini harus disyukuri dengan cara menjaga persaudaraan (ukhuwwah).
Meski fakta di lapangan, ada sebagian kelompok Islam yang bersikap eksklusif, menganggap kelompok lain sesat, menolak mengucapkan salam, bahkan yang lebih memprihatinkan enggan melakukan shalat bersama dengan kelompok yang berbeda. Pangkal persoalannya adalah perbedaan pendapat dalam beberapa masalah.
Baca juga Ketangguhan Penyintas Bom Kuningan, Ram Mahdi Maulana: dari Amarah Menuju Pemaafan
Dalam sejarah Islam perpecahan merupakan masalah klasik, yang juga menjadi perhatian para ulama terdahulu. Idealnya umat Islam dengan berbagai macam kelompok dan pemikiran tetap bisa menjalin ukhuwah walau berbeda pendapat.
Dalam Islam, ukhuwah merupakan hal urgen yang hukumnya wajib. Sebaliknya perpecahan merupakan perkara yang diharamkan. Perbedaan pendapat tak semestinya mengakibatkan timbulnya kebencian, celaan, dan hinaan satu sama lain, bahkan sampai terjadi pertumpahan darah. Karena itu hukumnya dikembalikan berdasarkan dampaknya tadi, yaitu diharamkan.
Baca juga 16 Tahun Bom Bali 2005: Kesakitan Menuju Kebangkitan
Sedangkan ukhuwwah diwajibkan agar menghindari kerusakan. Dengan ukhuwah maka akan timbul perdamaian, rasa saling menghargai dan menghormati sehingga agama ini terjaga dengan mulia. Salah satu cara menjaga ukhuwah adalah dengan mengamalkan bagi masing-masing individu atau kelompok sesuai dengan keyakinan dan pemahamannya, tanpa saling menyalahkan selama masing-masing memiliki dasar.
Hal ini juga dicontohkan oleh para ulama klasik. Meski mereka memiliki pendapat masing-masing, misalnya dalam tata cara beribadah, tetapi mau mengikuti cara beribadah yang berlaku di wilayah tertentu di mana ia sedang berada.
Baca juga Tangis Ketangguhan Penyintas
Cara lain adalah dengan mengembalikan asal hukum dalam Islam terkait muamalah atau bersosialisasi antarsesama manusia, yaitu bersikap lemah lembut, saling menasehati dengan cara yang baik, tidak saling mencela dan menghina. Tujuannya tidak lain agar ukhuwah tetap terjaga dalam nuansa perdamaian.
Hal ini dicontohkan dalam kisah sahabat yang masih mengonsumsi khamr (minuman keras) padahal sudah masuk Islam. Nabi tidak lantas mencelanya, apalagi sampai menumpahkan darah. Namun Nabi menasehati secara perlahan dan lemah lembut agar persaudaraan sesama muslim tetap terjaga, sehingga inti dari ajaran Islam dapat dipahami dengan benar.
Baca juga Mengelola Amarah
Kajian tentang ukhuwah juga tidak bisa lepas dari konsep loyalitas atau al-wala. Yang perlu dipahami adalah bahwa orang beriman hanya memiliki loyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka bagi siapa pun yang mengaku beriman harus disifati dengan sifat umum tersebut, meski memosisikan diri pada bangsa, mazhab, atau kelompok tertentu.
Maka dalam upaya mempraktekkan ukhuwah, setiap orang harus memiliki ilmu yang mumpuni. Harus ada kesadaran mengenai pentingnya berilmu sebelum beramal agar dijauhkan dari prasangka buruk terhadap yang lain, juga perasaan bahwa hanya diri kita yang benar, sedangkan yang lain salah. Juga klaim bahwa hanya kita yang memahami agama sedangkan yang lain berada dalam kebodohan.
Baca juga Beragama yang Bermaslahat