11/08/2022

Pasang Surut Kehidupan Penyintas

Aliansi Indonesia Damai- Para korban yang terkena dampak serangan terorisme banyak yang mengalami kesakitan dan penderitaan berkepanjangan. Tidak hanya secara fisik tetapi juga mental dan bahkan ekonomi. Menjalani hidup dengan keterbatasan-keterbatasan tentu bukanlah perkara yang mudah. Mereka melewati pasang surut pemulihan diri. Meski demikian, mereka punya harapan untuk hidup bahagia dan menatap masa depan yang lebih indah.

Iswanto Kasman, korban bom terorisme di depan kantor Kedutaan Besar Australia delapan belas tahun silam, menuturkan bahwa dirinya terluka di bagian mata kanan yang mengakibatkan buta permanen. Gendang telinga di sebelah kiri bolong sehingga tidak bisa mendengar suara-suara tinggi. Di bagian tubuh yang lain, terdapat tiga puluh enam luka besar dan kecil.

Baca juga Ikhlas Menerima Suratan Takdir

Seiring waktu, masalah-masalah yang dirasakan makin meluas. Ia diliputi rasa cemas, gelisah, takut dan perubahan suasana hati. Masalah-masalah itu bermula pada 9 September 2004. Bom mobil meledak yang menewaskan belasan orang dan lebih dari 150 lainnya luka-luka. Di antara korban meninggal adalah para petugas keamanan Kedubes dan warga yang berada di sekitar lokasi ledakan. Semua warga Negara Indonesia.

Saat itu, Iswanto sedang bertugas sebagai sekuriti yang mengatur lalu lintas di depan kantor Kedubes Negeri Kanguru di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Sekitar pukul 10.30 WIB, sebuah mobil box berjalan “terseok-seok” dari arah utara dan berhenti dekat gerbang Kedubes. Iswanto berupaya mengarahkan mobil itu agar menjauhi gerbang. Benar saja, berjarak sekitar 15 meter dari pintu gerbang, mobil itu meledak. Suasana jadi kacau balau.

Baca juga Menepis Dendam Mengikis Trauma (Bag. 1)

Iswanto mendapatkan pertolongan pertama, meski tidak dengan mudah karena jumlah korban yang banyak. Ia dilarikan dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain. Rumah sakit pertama tak mampu mengatasi luka yang dideritanya, lantaran pendarahan yang hebat di bagian matanya. Ia pun sempat kritis dan menjalani perawatan intensif selama lebih dari sebulan. Bahkan, ia harus dirawat di Rumah Sakit Mount Elizabeth Singapura.

Setelah bertahun-tahun, Iswanto mulai memulihkan mentalnya. Ia melakukan konseling ke Yayasan Pulih selama enam bulan. Perlahan ia belajar menjalani hidup menyesuaikan dengan satu mata. Ia berusaha bangkit di tengah keterbatasan karena harus tetap bekerja untuk menafkahi keluarganya. Dukungan dan support system keluarga menjadi penyemangatnya setiap kali ia merasa patah arang. Selain itu dukungan dari lingkungan sekitar, termasuk rekan-rekannya, turut membuatnya bangkit.

Baca juga Menepis Dendam Mengikis Trauma (Bag. 2-terakhir)

Dalam kegiatan-kegiatan AIDA, Iswanto selalu berpesan agar masyarakat luas, terutama generasi muda, mampu membentengi diri dari ideologi kekerasan. Sebab dampaknya sangat menyakitkan, terutama bagi korban yang luka-luka bahkan harus rela ditinggal oleh orang-orang tercintanya. “Terorisme merupakan tindakan kekejian dan kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan, baik untuk para korban bom dan keluarga pelaku sendiri,” kata Iswanto.

Ia pun mengajak publik luas untuk menjaga perdamaian, minimal di lingkungannya masing-masing. Dimulai dari sesuatu yang kecil, maka perdamain yang lebih luas akan terwujud juga. “Marilah menjaga perdamaian dengan menjadi duta damai,” ucap pria asli Wonogiri, Jawa Tengah itu.

Baca juga Pesan Pamungkas Korban Bom Kuningan (Bag. 1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *