Catatan dari Forum Perdamaian Dunia ke-8 di Solo
Oleh: Shamsi Ali
Imam Besar di New York Amerika Serikat
Dalam tiga hari ini saya berada di Surakarta atau Kota Solo untuk dua hajatan besar. Yakni pelaksanaan Forum Perdamaian Dunia ke-8 sekaligus menghadiri pembukaan Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah yang ke-48. Bagi saya kedua acara ini merupakan kebanggaan. Muktamar Muhammadiyah membanggakan saya sebagai tamatan pesantren Muhammadiyah. Tapi Forum Perdamaian Dunia juga membanggakan karena perhelatan internasional ini diinisiasi oleh Indonesia sebagai negara Muslim terbesar dunia.
Pada catatan ini saya akan fokus pada acara Forum Perdamaian Dunia yang diinisiasi oleh Pusat Dialog Antar Agama dan Peradaban di bawah komando Prof Din Syamsuddin, yang juga mantan Ketua Umum Muhammadiyah dua periode. Perhelatan dua tahunan itu menghadirkan tokoh-tokoh agama, aktivis dan akademisi dunia, khususnya mereka yang bergelut di dunia sosial keagamaan, pendidikan dan kebudayaan.
Baca juga R20: Fikih Toleransi dan Rekonsiliasi Konflik
Saya sendiri hadir dalam status sebagai seorang imam/tokoh agama Islam di Amerika. Walaupun sering dicantumkan sebagai peserta Indonesia karena wajah dan lisan saya yang tentunya tetap tidak berubah sebagai orang Indonesia. Hal ini juga sering disikapi oleh sebagian peserta yang belum mengenal saya, seolah saya hanyalah peserta lokal, yang biasanya disikapi biasa-biasa saja.
Yang menarik adalah seorang peserta lain dari US, seorang profesor wanita keturunan Korea. Beliau justru lebih identik sebagai peserta dari Amerika. Padahal dari segi residensi di Amerika saya lebih senior (tinggal lebih lama). Beliau hanya kebetulan orang asing (non Indonesian) sehingga lebih diidentikkan sebagai orang Amerika.
Baca juga Mazhab Pembinaan versus Mazhab Penjeraan
Bagi saya hal ini justru membanggakan, bahkan membahagiakan. Karena walau saya telah meninggalkan Indonesia sejak tamat pesantren (SMU) dan tidak pernah lagi tinggal di Indonesia, saya masih tetap diterima sebagai warga Indonesia asli. Ini sekaligus menguatkan kebanggaan saya sebagai orang yang terlahir di negeri tercinta ini.
World Peace Forum ke 8
Perhelatan forum dunia untuk perdamaian ini bertemakan “Human Fraternity and the Middle Path as the pillar to Peaceful, Just and Prosperous World”. Tema ini kira-kira ingin menyampaikan bahwa persaudaraan kemanusiaan (Al-ukhuwah insaniyah) dan jalan tengah (wasatiyah) adalah pilar untuk mewujudkan perdamaian, keadilan dan kemakmuran dunia.
Baca juga Muktamar Muhammadiyah dan Nasionalisme Indonesia
Para pembicara dengan latar belakang yang berbeda, hadir antara lain perwakilan Vatican (Katolik), Wakil Sheikh Al-Azhar (Muslim), maupun dari kalangan Hindu dan agama-agama lainnya. Bahkan pada sesi khusus membahas tentang nilai-nilai ketimuran ditampilkan pembicara dari Konghucu dan Buddha. Semua pembicaraan mengarah kepada bagaimana menguatkan relasi atau persaudaraan kemanusiaan universal dan mengarusutamakan (mainstreaming) nilai-nilai jalan tengah (wasatiyah) demi terwujudnya perdamaian, keadilan dan kemakmuran dunia.
Pada sesi pembukaan acara ini hadir juga beberapa tokoh nasional Indonesia untuk menyampaikan pandangan-pandangan tentang tema Forum. Hadir antara lain Bambang Soesatyo (Ketua MPR RI), Jusuf Kalla (mantan Wakil Presiden dua periode) dan lain-lain. Walau pada semua sesi ada pembicara-pembicara yang telah ditentukan, namun semua peserta punya kesempatan untuk menyampaikan pandangan/ide berkaitan dengan tema-tema pembahasan. Sehingga relatif hampir semua peserta punya kesempatan untuk berbicara pada forum ini.
Baca juga Politik Identitas Keindonesiaan
Saya pribadi pada kesempatan tersebut secara singkat menyampaikan beberapa pandangan berkenaan dengan tema bahasan. Ada tiga poin penting yang saya sampaikan pada kesempatan yang sangat singkat itu. Pertama, saya menekankan bahwa pembicaraan mengenai perdamaian, keadilan dan kemakmuran menjadi hambar bahkan hampa (sia-sia) ketika kebebasan hilang dari kehidupan. Saya mengingatkan peserta Muslim khususnya bahwa esensi “Laa ilaaha illallah” adalah kebebasan hakiki. Saya secara khusus merujuk kepada konteks Palestina (yang dubesnya juga hadir sebagai peserta) yang tak kunjung mendapatkan kebebasan (kemerdekaannya).
Kedua, pembahasan persaudaraan kemanusiaan (human fraternity) menjadi tidak relevan ketika dunia dengan ragam imajinasi terfragmentasi secara tidak adil. Dikotomi dunia kepada Barat dan Timur, yang kemudian melahirkan peradaban Barat dan peradaban Timur bahkan agama Barat dan agama Timur merupakan bagian dari “paradoxical behavior” (perilaku paradoks) dalam menyikapi persaudaraan kemanusiaan itu. Masalahnya pembagian dunia itu bukan berdasarkan geografis. Tapi lebih kepada cara pandang yang membagi manusia kepada Barat dan Timur. Barat sebagai penggambaran kemajuan, kekuatan, peradaban, dan seterusnya. Sementara bangsa Timur (Eastern nations) adalah sebaliknya.
Baca juga Geng Siswa dan Kekerasan di Sekolah
Ketiga, berbagai terminologi yang berkembang atau dikembangkan secara sistematis, termasuk toleransi vs ekstremisme, bahkan “war on terror” yang dikembangkan oleh Bush Jr pasca 9/11 di US memiliki konotasi dan pemaknaan yang disesuaikan dengan kepentingan masing-masing. Dan karenanya terminologi-terminologi yang dikembangkan harus terdefinisikan secara jelas. Termasuk kata “middle path” itu sendiri yang diterjemahkan dari kata “wasatiyah” yang diambil dari Al-Qu’ran.
Pada kesempatan khutbah Jumat bersama peserta Forum yang beragama Islam saya menguatkan lagi bahwa konsep persaudaraan kemanusiaan bukan hal baru bagi umat ini. Konsep ini bukan juga pertama kali dicetuskan oleh Sheikh Azhar dan Paus Franciss. Tapi justru merupakan “Godly Declaration” atau Deklarasi Allah dalam Al-Qur’an (An-Nisa ayat 1 dan Al-Hujurat ayat 13). Juga deklarasi kemanusiaan universal Rasulullah SAW ketika menyampaikan khutbah wada’ di Padang Arafah berabad-abad yang lalu.
Baca juga Meneladani Kenegarawanan Nabi
Hal penting lainnya dari Forum Dunia untuk Perdamaian ini adalah diluncurkan apa yang disebut “Global Fulcrum on Islamic Middle Path”. Sebuah gerakan global untuk menjadikan wasatiyah Islam sebagai “mainstream” beragama. Tentu sekali lagi hal ini bukan baru bagi umat ini yang memang dikenal dengan “ummatan wasathan”. Tapi ini merupakan bagian dari keseriusan umat untuk menyelesaikan berbagai kecenderungan radikal dalam kehidupan. Tentu tidak saja dalam kehidupan beragama. Tapi hampir dalam semua aspeknya, termasuk ekonomi dan politik.
Melalui Forum Dunia untuk Perdamaian ini kita harapkan dunia akan semakin membuka mata tentang realita Islam dan umatnya. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya bahwa salah satu ancaman terhadap human fraternity adalah adanya “imaginary view of one another”. Yaitu kecenderungan menilai orang lain tidak berdasarkan fakta. Tapi lebih kepada imajinasi-imajinasi yang dikembangkan, khususnya oleh media dunia. Umat harus mengambil kendali!
*Artikel ini terbit di sindonews.com, Minggu, 20 November 2022
Baca juga Efek Sorotan