Komitmen Pada Tugas Perdamaian
Aliansi Indonesia Damai- “Tugas kita jangan sampai sia-sia, niatkan untuk ibadah dan selalu mengambil langkah kehati-hatian.”
Pesan tersebut disampaikan Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Banyumas, Agung Nurbani, saat berbicara dalam Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme bagi Petugas Pemasyarakatan Lapas Gunung Sindur, Bogor, Selasa (10/1/2023). Ia menyeru koleganya, para petugas Lapas di seluruh Indonesia, agar berkomitmen dalam menangani warga binaan pemasyarakatan (WBP) demi terwujudnya perdamaian.
Terkhusus dalam rangka membina narapidana kasus terorisme (napiter), lanjutnya, petugas penting untuk membangun profesionalisme dengan berpegangan pada aturan yang berlaku dan meningkatkan literasi, namun tidak merasa paling benar sendiri. Petugas Lapas, katanya, tidak semestinya menganggap para napiter sebagai musuh, melainkan kawan diskusi.
Baca juga Membangun Perdamaian dari Hilir
Dari belasan tahun pengalamannya membina WBP, Agung menuturkan bahwa para napiter menunjukkan ciri perilaku yang seragam, yaitu merasa yang diyakininya adalah satu-satunya kebenaran sedangkan segala sesuatu yang lain adalah kesalahan. “Titik terendah keimanan seseorang itu ketika ia merasa dirinya paling benar,” ujar mantan Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) Lapas Gunung Sindur tersebut.
Agung menjelaskan, membina napiter dengan gaya pendekatan tidak merasa paling benar, bisa membuahkan harapan terjadinya perubahan pada diri yang dibina.
Akan tetapi, ia juga mengingatkan apabila pegangan yang dimiliki petugas kurang mantap, risiko terjadinya situasi yang tidak diharapkan bisa muncul. Yaitu, petugas Lapas justru terpengaruh akan gagasan atau ideologi napiter.
Baca juga Alternatif Pembinaan Napiter
Ia menggambarkan, kelemahan kapasitas petugas ditambah dengan ‘kesalehan’ sehari-hari yang ditampilkan para napiter di Lapas, bisa menjadi kombinasi yang berbahaya. Dia mencontohkan, para napiter rata-rata piawai dalam menarasikan hal-hal yang bersifat eskatologis dan kemudian memengaruhi orang lain untuk mencari jalan keselamatan.
Agung mengatakan, berdasarkan pengalamannya, ia melihat ada 3 tahapan seseorang menjadi teroris. Pertama, ada krisis dalam dirinya. Kedua, dia berkonversi dalam hidup, dan yang terakhir, melakukan aksi.
Baca juga Direktur Pemasyarakatan: Pembinaan Napiter untuk Perdamaian
Terkait krisis dalam diri seseorang, Agung menyebutkan ada 4 kondisi yang memengaruhi hal tersebut. Pertama, sedang mempelajari agama. Kedua, sedang meningkatkan kemampuan diri dalam mencari nilai kebenaran. Ketiga, sedang memperbaiki diri, dan keempat, sedang merasakan ketidakadilan kehidupan baik secara lokal maupun global.
Dari semua kekecewaan yang bertumpuk tersebut, seseorang yang tidak memiliki pegangan atau prinsip hidup yang mantap cenderung mudah tertarik akan ide atau tawaran yang serba indah dari pihak-pihak tertentu. “Dunia ini penuh dengan fitnah Dajjal, dunia ini fana, pemerintah kafir, kemudian kita diajak hijrah untuk selamat dari fitnah tersebut, maka siapa yang tidak mau?” ungkapnya.
Baca juga Petugas Lapas Garda Terdepan Pembinaan Napiter
Maka dari itu, Agung menyimpulkan bahwa kapasitas dalam diri dan pikiran petugas Lapas mesti terus ditingkatkan. Sehingga, segala risiko dan potensi terpengaruh akan ideologi napiter bisa diminimalisir. “Di sinilah saya merasa yakin bahwa inilah yang membedakan saya, kita Petugas Lapas, dengan teroris itu,” katanya.
Menguatkan pendapat Agung, Ketua Pengurus AIDA, Hasibullah Satrawi, menjelaskan kejahatan terorisme secara lebih nyata. Terorisme secara lebih konkret bisa dilihat dari dan tercermin pada korban. Pada dasarnya antara pelaku dan korban tidak saling terkait, namun karena terorisme berkaitan dengan kejahatan ideologi, maka pelaku melakukan tindakan pengeboman kepada polisi berdasarkan ideologi tersebut. Mereka tidak berpikir di sekelilingnya (saat melakukan aksi pengeboman) ada masyarakat umum. “Para korban akhirnya harus menanggung penderitaan dan trauma sampai saat ini,” ungkapnya. [FKR]