28/03/2023

Kekerasan Pemuda, Cermin Asuhan Keluarga

Oleh: Syaifudin
Dosen Sosiologi FIS UNJ

Publik saat ini sedang membahas perilaku kekerasan anak pejabat pajak di Jakarta. Dalam video yang tersebar, pemuda itu menghajar korban yang sudah terkapar tidak berdaya.

Tindak kekerasan ini lalu menyeret orangtuanya beserta kekayaannya yang fantastis. Pejabat pajak itu dicopot jabatannya dan kini menjalani pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi atas dugaan ketidakwajaran kekayaan.

Inilah suatu realitas sosial bahwa kekerasan melekat pada kehidupan pemuda dengan berbagai motifnya. Hal ini senada dengan hasil penelitian dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2020. Bahwa setiap tahun terjadi 200.000 pembunuhan anak muda usia 12-29 tahun. Ada 84 persen kasus melibatkan laki-laki usia muda atau remaja laki-laki. WHO menyatakan kekerasan pada anak muda menjadi isu kesehatan global yang harus mendapat perhatian serius.

Baca juga Ramadhan dan Kesalehan Negara

Menurut WHO, bentuk kekerasan di kalangan pemuda lebih sering terjadi di perkotaan dalam bentuk kekerasan fisik, perundungan, kekerasan seksual, hingga pembunuhan.

Friedmann (1971) dalam buku Youth and Society menjelaskan bahwa perilaku anak muda dalam sistem keluarga yang kacau atau disfungsi cenderung terpengaruh. Ia akan didominasi perasaan tidak aman, tidak terlindungi, dan kurang perhatian serta kasih sayang. Hal ini mendorong kerentanan mental dalam pergaulan, termasuk cara ia berinteraksi sosial.

Kondisi kerentanan mental ini memicu anak muda mengalami krisis identitas sehingga tidak dapat membedakan apakah perilaku sosialnya bertentangan dengan nilai dan norma yang ada atau malah masuk ranah kriminal.

Baca juga Kekerasan Budaya

Semua itu berkaitan dengan pola asuh orangtua dan kondisi masyarakat digital saat ini. Apalagi pada masyarakat perkotaan, orang tua disibukkan dengan rutinitas pekerjaan dan aktivitas sosial sehingga kurang perhatian, peran, dan fungsi pada anak. Tentunya ada juga orang tua sibuk, tetapi peran dan fungsinya terhadap anak tetap berjalan baik. Hal ini tergantung bagaimana orang tua menempatkan diri pada anak.

Pola asuh jadi cermin

Pola asuh orang tua dapat dimaknai sebagai sikap dan perilaku orang tua dalam kontak sosial dengan anak saat pengasuhan untuk membentuk perilaku anak sesuai nilai dan norma. Pola asuh keluarga ini, khususnya di perkotaan, setidaknya ada empat.

Baca juga Manusia Digital dan Ke(tidak)bebasan

Pertama, pola pengasuhan otoriter (authoritarian parenting). Pada pola ini, umumnya orang tua membatasi, mendesak anak mengikuti arahan mereka, dan memberikan hukuman jika melanggar.

Kedua, pola pengasuhan demokratis (authoritative parenting). Pada pola ini, umumnya orang tua membangun komunikasi yang baik dengan anak.

Selain itu, orang tua turut melibatkan diri dan berdiskusi tentang masalah yang dialami anak dan mengajarkan anak kemandirian dengan tanggung jawab dan kasih sayang.

Baca juga Pendidikan Tanggung Jawab Bersama

Ketiga, pola pengasuhan yang membiarkan (permissive indulgent). Pada pola ini, umumnya orang tua sangat memanjakan anak dan sedikit mengendalikan mereka. Pola ini membiarkan anak melakukan apa saja sehingga anak tidak pernah belajar mengendalikan perilaku.

Keempat, pola asuh mengabaikan (permissive indifferent). Pada pola ini, umumnya orang tua tidak terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka. Orang tua tipe ini tidak memiliki banyak waktu untuk bersama anak-anak mereka sehingga anak tidak terbangun kecakapan sosialnya.

Baca juga Ruang Merawat Diri

Perilaku pelaku mencerminkan pola asuh yang membiarkan (permissive indulgent), membuat pelaku terbiasa flexing dan bertindak arogan di luar kontrol dirinya.

Rumah sebagai pendidik utama

Pelaku generasi Z ini biasanya sulit menghadapi tekanan sosial, insubordinat, manja, sombong, dan arogan. Tidak heran jika pelaku sering flexing kendaraan dan gaya hidup mewah.

Fenomena ini juga terjadi pada generasi alfa sehingga dapat menjadi imitasi sosial yang tidak baik bagi individu-individu lain. Apalagi, mereka identik dengan fear of missing out (FOMO). Artinya, mereka merasa dirinya kurang pergaulan, takut dicap tidak gaul oleh temannya, dan cemas jika belum mencoba tren yang sedang viral di internet.

Baca juga Internalisasi Kerukunan di Tengah Keragaman

Becermin dari beberapa kasus yang terjadi terkait dinamika sosial pada generasi Z dan alfa, maka penting mengembalikan peran rumah sebagai sekolah utama anak menginternalisasi nilai dan norma yang baik.

Harus diakui, gagalnya pendidikan anak terutama karena hilangnya peran rumah dalam pendidikan anak. Maka, persepsi bahwa pendidikan anak hanya di sekolah dan orang tua menyimpan harapan besar terhadap sekolah harus dihapuskan.

Justru rumah menjadi sekolah pertama dan tempat bernaung bagi anak. Melalui rumah, orangtua memainkan peran di tengah kesibukan pekerjaan dan aktivitas sosial. Jika peran orangtua berfungsi dengan baik, anak juga akan berkembang dengan baik pribadi dan perilakunya.

Baca juga Mencari Celah Kebaikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *