23/08/2023

Meresapi Hikmah di Balik Musibah

Aliansi Indonesia Damai- Sebuah tragedi besar pernah menimpa Syamsi Fahrul 19 tahun silam. Pria kelahiran Jakarta itu menjadi salah satu korban serangan teror bom di depan gedung Kedutaan Besar (Kedubes) Australia, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan pada 9 September 2004.

Peristiwa yang kerap disebut Bom Kuningan ini menambah catatan luka bagi bangsa Indonesia. Sebelum serangan ke Kedubes Australia di Jakarta, telah terjadi rentetan aksi teror bom di sejumlah tempat. Di antaranya aksi teror Bom Natal pada tahun 2000 yang menyasar gereja-gereja di beberapa kota, Bom Bali tahun 2002, dan bom yang menyasar Hotel JW Marriott Jakarta tahun 2003.

Baca juga Trauma dan Rasa Sakitnya

Bagi Syamsi, ledakan Bom Kuningan yang hampir membuat nyawanya melayang tak ubahnya kiamat kecil. “Sembilan belas tahun yang lalu itu masih melekat di kepala saya, seperti kiamat kecil yang terjadi di hidup saya,” ujarnya dalam sebuah kegiatan AIDA di Samarinda beberapa waktu lalu.

Saat peristiwa terjadi, dalam benak Syamsi belum terbayangkan apakah ledakan kencang yang muncul bersumber dari ban bus yang meletus, atau kecelakaan lalu lintas, atau sebab lain. Yang dia rasakan, seketika tubuhnya terpental dari titik semula berdiri. Hempasan kuat mendorong badannya hingga kehilangan keseimbangan gravitasi. Sesaat kemudian rasa sakit luar biasa meliputi sekujur tubuhnya, terutama di bagian perutnya. Saat melihat kondisi perutnya, dia langsung menyadari ada luka serius yang merobek ususnya.

Baca juga Melawan Ketakutan demi Masa Depan

Syamsi menjelaskan detail kronologi perutnya tertembus serpihan benda asing akibat ledakan tersebut. Gedung tempatnya mencari nafkah letaknya berseberangan dengan kantor Kedubes Australia yang disasar bom oleh kelompok teroris. Waktu itu ia diamanahi bekerja sebagai petugas sekuriti Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil & Menengah. Tugasnya pada hari kejadian adalah menjaga keamanan di gerbang depan. Praktis dia harus betul-betul berjaga di tepi Jl. HR Rasuna Said Kuningan, Jakarta, tepat di seberang titik ledakan bom.

Tanggal 9 September 2004 sekira pukul 10 pagi, Syamsi mengingat beberapa menit sebelum ledakan ia baru saja mengatur lalu lintas agar mobil Menteri keluar menuju Jl. HR Rasuna Said dengan aman. Duarrrr. Sebuah mobil boks berisi bom meledak di seberang tempatnya berdiri. Kendati mengalami cedera berat akibat ledakan, Syamsi masih mengucap syukur bahwa masa terkapar tak berdaya yang dilaluinya tak sampai menghilangkan nyawanya.

Baca juga Kesabaran Tak Bertepi Penyintas Bom

Tidak berapa lama ada orang yang menolongnya. Ia kemudian dilarikan ke rumah sakit (RS) terdekat, RS MMC yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari kantornya. Sampai di RS tersebut, Syamsi melihat sudah banyak korban yang senasib dengannya. Sebagian besarnya berseragam polisi. Belakangan ia ketahui korban-korban tersebut merupakan anggota Brimob yang ditugaskan menjaga keamanan objek vital, dalam hal ini Kedubes Australia. Sempat gelisah beberapa waktu menanti tindakan medis sambil menahan sakit, Syamsi bersyukur kepastian operasi terhadap lukanya akhirnya datang. “Komandan saya datang untuk tanda tangan jaminan persetujuan tindakan,” katanya.

Dokter memutuskan untuk memotong ususnya yang terinfeksi akibat tertembus serpihan bom sepanjang 10 cm. Pascaoperasi, dia menjalani masa perawatan di RS selama dua pekan. Sejak ususnya dipotong, ia hanya dibolehkan mengonsumsi makanan yang serba halus, seperti bubur dan jus buah.

Baca juga Keikhlasan Meredakan Derita (Bag. 1)

Tiga bulan berselang Syamsi kembali merasakan sakit di bagian yang sama. Ia pun memeriksakan keluhannya ke RS. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa sebagian ususnya masih mengalami infeksi. Lagi-lagi, ia terpaksa menjalani operasi pemotongan usus sepanjang 10 cm untuk kedua kalinya.

Walaupun banyak penderitaan bertubi-tubi datang, Syamsi tak kendat dalam mengucap syukur. Seiring waktu lukanya berangsur pulih. Ia pun mengaku banyak mengambil pelajaran dari tragedi Bom Kuningan yang menimpanya. “Alhamdulillah Allah kasih rejeki, di tahun 2009 saya diangkat menjadi pegawai negeri sipil sampai saat ini. Bagi saya, percayalah setiap musibah Allah memberikan hikmahnya,” kata dia.

Ketika ditanya apakah menyimpan dendam terhadap pelaku terorisme, Syamsi menuturkan pada awalnya memang sempat marah. Namun, ia sadar bahwa kemarahan membuat mentalnya semakin terpuruk. Dia memilih berdamai dengan keadaan dan masa lalu yang telah terjadi. Dia pun berpesan kepada rekannya sesama penyintas aksi terorisme agar terus belajar ikhlas menjalani takdir kehidupan. “Berdamailah sama diri sendiri, kita akan bisa memaafkan orang lain,” ujarnya.

Baca juga Keikhlasan Meredakan Derita (Bag. 2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *