Keikhlasan Meredakan Derita (Bag. 1)
Aliansi Indonesia Damai- Budijono, pria asli Surabaya, memilih menetap di Yogyakarta. Alasannya sederhana. Dalam benaknya, Yogyakarta adalah kota yang damai. Yogyakarta adalah tempat yang menerima dan menghargai keberagamaan. Kebetulan, Budijono adalah pemeluk Katolik. Keramahan yang Yogyakarta tawarkan tentu bisa memberikan keleluasaan dalam beribadah. Begitu pikirnya.
Citra Yogyakarta sebagai kota yang ramah akan keberagaman seketika tercoreng oleh peristiwa teror pada 11 Februari 2018. Tanggal itu jatuh pada Minggu dan bertepatan dengan pelaksanaan Misa. Budijono, seperti jemaat Katolik lainnya, berangkat ke Gereja St. Lidwina Bedog Sleman untuk melaksanakan ibadah Misa. Budijono berangkat bersama keluarganya. Suka cita mengiringi keberangkatan mereka.
Baca juga Pasang Surut Kehidupan Penyintas
Selama tinggal di Yogyakarta, Budijono tidak pernah menaruh curiga kepada siapa pun. Ia menyakini bahwa orang-orang Yogyakarta sangat ramah, bahkan kepada kelompok yang berbeda. Selama menggelar ibadah di gereja, umat muslim di Yogyakarta selama ini tidak pernah menganggu. Bahkan saat perayaan Natal atau Paskah justru umat muslim membantu pengamanan jalan dan parkir kendaraan jemaat. Sebaliknya umat Kristiani membantu pengamanan saat perayaan Idul Adha dan Idul Fitri.
Maka dari itu, ketika Gereja St. Lidwina menggelar ibadah Misa, tidak ada pengamanan khusus. Pun ketika Budijono bermain dengan anaknya di pelataran luar gereja karena kebetulan tidak kebagian tugas penyelenggaran Misa, Budijono masih merasa aman-aman saja. Budijono tetap berpikiran positif. Tidak akan ada ancaman-ancaman aneh yang akan datang ke gereja St. Lidwina di hari penting itu. Budijono bahkan sempat melihat sosok pria tak dikenal berjalan memasuki gereja. Namun ia tidak menaruh curiga sedikit pun.
Baca juga Ikhlas Menerima Suratan Takdir
Semuanya terjadi begitu cepat. Saat Budijono lengah itulah, pelaku mengayunkan sebilah parang yang ia sembunyikan di balik jaketnya. Parang itu melukai bagian kepala dan leher Budijono. Budijono tumbang. Seketika ia hilang kesadaran. Darah terus mengucur dari kepalanya. Anaknya yang masih berusia 2 tahun menangis ketakutan. Jemaat gereja lain pun dilanda kepanikan. Pelaku lanjut menerobos ke dalam dan mencoba melukai jemaat lainnya.
Tak lama kemudian, Budijono sadar kembali. Seketika ia merasa mendapat kekuatan untuk kembali bangkit. Secara samar-samar, ia melihat anaknya yang berdiri di dekatnya. Beruntung, anak Budijono tidak diapa-apakan oleh sang pelaku. Budijono mengumpulkan kembali kesadarannya. Ia meraih tangan anaknya menjauh dari lokasi.
Budijon masih belum menyadari seberapa parah luka menderanya, tapi rasa sakit dan kesadarannya yang semakin memudar, membuatnya yakin bahwa luka itu bisa mengancam nyawanya. Setelah anaknya diamankan oleh warga, Budijono lantas diantarkan ke rumah sakit. (bersambung)
Baca juga Menepis Dendam Mengikis Trauma (Bag. 1)