Melawan Ketakutan demi Masa Depan
Aliansi Indonesia Damai- “Saya melihat api terlihat di mana-mana. Kurang lebih 10-15 menit saya dalam timbunan reruntuhan akibat ledakan. Saya bisa sadar karena mendengar suara rekan. Saat melihat di sekitar, banyak mayat dan suara minta tolong.”
Arnol, penyintas Bom Bali 2002, menuturkan pengalaman tragisnya 20 tahun silam dalam salah satu kegiatan yang digelar AIDA pada awal Februari 2023 silam.
Arnol sama sekali tidak merasakan firasat tertentu di hari nahas itu. Pada 12 Oktober 2002, semua rutinitas berjalan seperti biasanya. Sore hari, Arnol tiba di tempat kerjanya, Sari Club, di kawasan Legian, Kuta, Bali. Kala matahari mulai terbenam di ufuk barat, tamu mulai berdatangan hingga akhirnya sangat ramai sekitar jam 10 malam.
Baca juga Kesabaran Tak Bertepi Penyintas Bom
Saat padat pengunjung, terjadi terjadi ledakan di Paddy’s Pub, kafe seberang tempat Arnol bekerja. Sebagian orang yang berada di Sari Cub keluar untuk mencari tahu asal suara. Saat banyak orang berkumpul di luar itulah terjadi ledakan yang jauh lebih besar ketimbang sebelumnya. Sumber ledakan kali ini tepat berada di tempat kerja Arnol.
Kebanyakan media massa mencatat, dua ledakan dahsyat itu mengakibatkan 202 orang kehilangan jiwa dan ratusan lainnya menderita cedera, Arnol salah satunya. Usai sempat pingsan beberapa saat, ia tersadar dengan kondisi pakaian yang compang-camping dan darah mengalir dari sekujur tubuhnya. Pria kelahiran Tana Toraja, Sulawesi selatan tersebut mengalami cedera cukup parah.
Baca juga Keikhlasan Meredakan Derita (Bag. 1)
“Luka saya yang paling banyak (akibat) terkena serpihan, dan luka bakar tubuh sebelah kiri. Telinga saya pun seringkali berdengung hingga saat ini. Luka paling parah juga di lutut kiri, tergores yang besar hingga menganga. Itu dijahit 4-5 jahitan agar lukanya tertutup,” kata Arnol.
Dampak psikologis
Arnol mengalami trauma psikis cukup panjang. Ia sering merasa bingung, pikiran seperti melayang, dan kesulitan untuk bisa fokus dalam bekerja. “Dampak lain, kalau ada yang membawa tas ransel, saya seperti mengingat kejadian yang dialami. Saya jadi gelisah bertemu orang banyak,” katanya.
Baca juga Keikhlasan Meredakan Derita (Bag. 2)
Dampak psikis inilah yang betul-betul menyiksanya. Arnol harus beberapa kali berpindah tempat untuk memulihkan mentalnya, bahkan Arnol sampai merantau ke Kalimantan Timur dan Riau. Namun lantaran tidak ingin terus terjebak pada derita masa lalu, Arnol memutuskan balik ke Pulau Dewata. Ia melawan rasa takutnya dan bekerja kembali di sebuah café wilayah Jimbaran.
Tak dinyana, setelah 1 tahun kembali ke Bali, ia bertemu dengan perempuan yang selalu mendukungnya untuk melampaui trauma. Keduanya memutuskan menikah. Tanggung jawab sebagai suami semakin membulatkan tekad Arnold untuk terus bangkit. Sejak tahun 2014, ia memutuskan bekerja di sebuah hotel hingga kini.
Baca juga Keikhlasan Meredakan Derita (Bag. Terakhir)
Perjumpaan awal dengan teroris
Arnol dipertemukan pertama kali dengan salah satu pelaku Bom Bali 2002, Ali Imron, di Jakarta. Awalnya ia mengaku siap secara mental. Arnol yakin bisa tenang dan mampu berpikir jernih kala bertemu pelaku. Namun ternyata tak mudah meredakan trauma psikis. Arnol mengaku jiwanya bergemuruh, muncul keraguan di hatinya untuk memaafkan dan rasa ingin menghakimi Ali Imron.
“Saya lawan kata hati saya, lalu kami berpelukan dan di sana ia meminta maaf secara langsung. Pada hari ini saya pun ingin memeluk saudara saya, silahkan maju di samping saya, Pak Iskandar, ” ujarnya diiringi pelukan hangat terhadap sosok yang ia sebut.
Iskandar merupakan mantan narapidana terorisme yang telah bertransformasi menjadi duta perdamaian. Sejumlah orang yang menyaksikan pertemuan itu tampak terharu, mata mereka berkaca-kaca.
Baca juga Pasang Surut Kehidupan Penyintas