31/05/2024

Mengabaikan Surga

Oleh: Muhsin Al-jufri,
salah satu pendiri Fosmil Solo

Seorang sahabat penduduk Madinah, memiliki kebun kurma yang tumbuh subur di sekeliling rumahnya. Satu pohon yang berbuah sangat lebat, tangkainya menjulur hingga ke halaman tetangganya yang miskin. Sewaktu panen, ia mengambil semua buah yang ada tanpa memberi kepada tetangganya. Bahkan kurma yang jatuh, saat diambil oleh anak tetangganya pun direbut kembali.

Tetangga yang miskin mengadu kepada Rasulullah SAW tentang perlakuan buruk pemilik kebun kurma tersebut. Mendengar pengaduan ini, Beliau SAW mendatangi pemilik pohon kurma dan berkata, “Berikanlah kepadaku pohon kurma yang mayangnya menjulur ke rumah tetanggamu, dan sebagai gantinya kamu akan mendapatkan pohon kurma di surga.”

Baca juga Sekolah Bahagia

Tanpa disangka, ternyata pemilik pohon menolak dengan mengutarakan berbagai alasan yang dicari-cari. Penawaran yang disampaikan oleh Rasulullah SAW, kebetulan didengar oleh sahabat lain. Ia segera mendatangi Rasulullah dan bertanya, “Apakah penawaran Tuan tadi juga berlaku bagiku, jika pohon kurma tersebut kubeli?”

Setelah dibenarkan oleh Rasulullah, ia segera mendatangi pemilik kurma. Merasa dibutuhkan, pemilik kurma kembali menyampaikan berbagai alasan, hingga dipotong oleh sahabat tadi dengan bertanya, “Apakah kamu mau menjualnya?”

Ia kembali berdalih macam-macam, hingga akhirnya bersedia jika diganti dengan 40 pohon kurma.

Baca juga Jalan Panjang Menuju Palestina Merdeka

Harga yang sangat tidak masuk akal, namun karena sahabat tersebut mendambakan janji Rasulullah, maka ia pun bersedia membayarnya. Setelah menyelesaikan “transaksi”, ia mendatangi dan menyerahkan kepemilikan pohon kurma kepada Rasulullah. Dengan gembira Beliau SAW mendatangi rumah sahabat yang miskin, dan berkata, “Ambillah pohon kurma itu untukmu dan keluargamu.”

Karena peristiwa di atas, turun Surat Al-Lail (Q.S. 92: 5-11). Setelah diawali dengan sumpah, Allah berfirman, “Ada pun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Ada pun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.”

Baca juga Antara Rafah, Tel Aviv, dan Riyadh

Pemilik pohon kurma tidak tertarik dengan penawaran surga, padahal yang menjanjikan adalah Rasulullah SAW. Sementara sahabat lain yang mendengar penawaran tersebut, walau harus ditebus dengan harga yang sangat mahal, tetap bersedia membelinya. Tidak ada alasan lain, kecuali kembali kepada keimanan yang ada di dalam dada. Keyakinan akan apa yang dijanjikan Rasulullah kelak di akhirat.

Karena itu juga, dalam Surat Al-Baqarah (Q.S.2: 3) yang menjelaskan mengenai tanda mereka yang bertakwa, diawali dengan percaya kepada yang gaib. “(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”

Baca juga Paradoks Pendidikan dan Keterpinggiran

Mengapa penyebutan percaya kepada yang gaib mendahului salat, zakat? Sebagian ulama tafsir menjelaskan bahwa percaya kepada yang gaib, bagai kunci untuk masuk kepada keimanan yang lain. Dengan percaya kepada yang gaib; alam barzakh, surga, neraka, hari pembalasan, janji Allah dan Rasul-Nya, maka seseorang termotivasi untuk beramal. Di sisi lain, dengan percaya kepada yang gaib, membuat seseorang meninggalkan apa yang di larang Allah.

Percaya dengan adanya malaikat juga termasuk perkara gaib. Mereka para malaikat memiliki tugas masing-masing, seperti malaikat pengawas yang mencatat amal perbuatan seseorang. “Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi, yang mulia dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. 82; 10 – 12 )

Baca juga Tantangan Pendidikan Indonesia

Sedang puncak dari percaya kepada yang gaib adalah keimanan tentang adanya pengawasan Allah kepada hamba-Nya, atau yang dikenal juga dengan ihsan. Yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan kita melihat-Nya, dan jika belum mampu melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat kita. Inilah tingkatan tertinggi dari keimanan dan ketakwaan seseorang.

Memang tidak mudah untuk mencapai tingkat tersebut, tetapi setidaknya kita terus berusaha mencapainya. Jika belum mampu, jangan sampai mengabaikan semua yang gaib, yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. Karena bila demikian, sama saja dengan kisah di atas. Jangankan pahala biasa, janji surga saja diabaikan.

*Artikel ini terbit di solopos.com, Minggu 31 Maret 2024

Baca juga Buku di Bayang-bayang Kecerdasan Buatan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *