Penderitaan Korban Menyayat Batinnya
Aliansi indonesia Damai- Iskandar Natsir alias Alexander Rumatery sempat menjadi tokoh penting dalam jaringan ekstremisme kekerasan, sebelum akhirnya menyadari kekeliruan pemahaman dan strategi perjuangannya. Pengetahuan keagamaan yang cukup mendalam membuatnya menjadi tokoh panutan, bahkan sempat dinobatkan sebagai pemimpin Jamaah Ansharud Daulah (JAD), kelompok pendukung ISIS di Indonesia.
Semangat perlawanan Iskandar ikut dipicu pengalaman masa lalunya yang pahit. Mendiang ayahnya, Muhammad Natsir, merupakan aktivis Islam yang dianggap berperan aktif dalam serangkaian aksi massa yang berujung terjadinya Tragedi Tanjung Priok 1984. Usai peristiwa berdarah itu, Natsir melarikan diri ke Malaysia untuk menghindari kejaran pemerintah orde baru (orba) hingga akhir hayatnya. Walhasil, Iskandar bertumbuh besar tanpa kasih sayang dari sosok ayahnya.
Baca juga Menuju Kedamaian yang Kafah
Sejatinya Iskandar menempuh pendidikan di lembaga-lembaga keagaman yang tak menyempal dari mainstream. Usai tamat dari pondok pesantren, ia bahkan sempat berkuliah di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun di sela-sela kuliah, Iskandar juga mendirikan forum diskusi bernama Forum Kajian Kepustakaan Islam (FK2I) di Jakarta. Wadah itu sempat menggelar seminar yang menghadirkan beberapa tokoh yang belakangan terlibat dalam tindak pidana terorisme, salah satunya Oman Abdurrahman.
Karena merasa cocok, Iskandar juga aktif menghadiri sejumlah majelis pengajian di luar kampus yang diampu Oman. Majelis itu banyak mengkaji soal kezaliman terhadap kaum muslimin di pelbagai belahan dunia termasuk di Indonesia, perihal jihad, thagut, dan takfir. Ditambah setelah Oman ditangkap, Iskandar sering mengunjunginya ke penjara dan banyak berkenalan dengan ikhwan-ikhwan lain di Lapas.
Baca juga Ketika Ekstremis Mengaku Khilaf (Bag. 1)
Iskandar memutuskan bergabung dengan kelompok Tauhid Wal Jihad yang dipimpin Oman Abdurrahman. Karena dianggap memiliki pengetahuan keagamaan yang mumpuni, Iskandar bahkan dipercaya menggantikan Oman Abdurrahman untuk mengisi majelis-majelis pengajian yang selama ini diampunya, dari Bima Nusa Tenggara Barat hingga pulau Sumatera.
Aktivitasnya bersama kelompok ekstrem mengantarkan Iskandar ke bilik jeruji besi. Tak tanggung-tanggung, dua kali ia harus diterungku karena kasus tindak pidana terorisme. Pertama pada akhir tahun 2013 (bebas 2016) dan kedua pada tahun 2017 (bebas 2021).
Titik balik pertobatan
Medio 2018, terjadi kerusuhan di Rutan Mako Brimob. Iskandar yang sudah divonis hukum oleh pengadilan dipindahkan ke lapas berpengamanan supermaksimum di Pulau Nusakambangan. Situasi Lapas yang lengang karena masing-masing narapidana menghuni satu sel sendiri memberikan ruang dan waktu kontemplasi yang lebih luas bagi Iskandar. Interaksi antarnarapidana juga sangat minim. Pihak Lapas pun memberinya bahan-bahan bacaan.
Meningkatnya literasi meluaskan pengetahuan Iskandar. Rupanya, paham-paham yang sebelumnya ia yakini sebagai kebenaran tunggal ter-challenge oleh bacaan-bacaan tersebut. Secara perlahan, ia menyadari banyak kekeliruan dalam pemikirannya dan berupaya mengoreksinya.
Baca juga Ketika Ekstremis Mengaku Khilaf (Bagian 2- terakhir)
Kesadarannya semakin menguat saat Iskandar dipertemukan dengan sejumlah korban terorisme. Saat pertama kali mendengarkan kisah korban terorisme secara langsung, batin Iskandar seperti tersayat. Ia sedih dan menyadari bahwa aksi jihad yang dilakukan oleh kolega-koleganya adalah kekeliruan, karena lebih banyak menuai mudarat dan menyakiti orang-orang tak bersalah. Aksi itu justru mengkhianati niat awal jihad yang ingin membela hak-hak umat Islam yang terzalimi.
“Benarkah cara perjuangan seperti ini? Pantaskah perjuangan ini harus melukai orang-orang yang tidak tahu menahu apa pun hingga membuat mereka menderita?” Pertanyaan itu seperti menggedor-gedor relung hati Iskandar. Tak ayal, nyaris setiap bertemu korban bom terorisme, ia menyampaikan permohonan maaf. Kendati tak pernah terlibat serangan-serangan teror, ia pernah berada dalam satu barisan pemahaman dengan para pelaku pengeboman.
Baca juga Saat Napiter “Kehilangan” Anaknya
Bagi Iskandar, jihad dengan kekerasan bukan cara tunggal meraih keridaan Allah. Menegakkan keadilan dan kemaslahatan bagi umat tak seharusnya dengan cara-cara yang menyakiti orang-orang tak bersalah. Iskandar mengubah prinsip jihadnya dengan berasaskan rahmatan lil alamin, sebab Islam mengajarkan kasih sayang untuk semesta. Kini Iskandar berkomitmen untuk terus mengampanyekan perdamaian. Sebuah ikhtiar untuk menebus sekaligus memperbaiki apa yang ia lakukan di masa lalu agar Indonesia menjadi lebih damai, menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. [MSH-MSY]
Baca juga Hati-Hati Mencari Ilmu