17/10/2024

Kewarasan Guru

Oleh: Y Priyono Pasti,
Guru di SMP/SMA Santo Fransiskus Asisi Pontianak, Kalimantan Barat

Dunia pendidikan kita tengah mengalami kelunturan wibawa nilai-nilai yang jauh dari kepantasan dan keadaban karena ulah sejumlah guru yang ”tidak waras”. Padahal, kewarasan guru sebagai pendidik menjadi prasyarat utama dalam mendidik, mendesiminasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai keutamaan kehidupan di kalangan murid.

Ketidakwarasan guru tersebut antara lain tecermin dalam sejumlah kasus kekerasan seksual di sekolah. Kasus yang baru-baru ini terjadi, dan viral di media sosial, dilakukan oleh seorang guru terhadap siswanya di sekolah menengah agama di Gorontalo. Sebelumnya, seorang guru di Provinsi Lampung melakukan kekerasan seksual terhadap lima siswinya yang berusia delapan tahun (Kompas, 12/10/2022).

Kasus lainnya, seorang guru agama di sebuah SMP di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, melakukan kekerasan seksual kepada 33 siswinya dalam kurun Juni-Agustus 2022. Di Banjarnegara, seorang guru pondok pesantren melakukan kekerasan seksual terhadap tujuh siswa laki-laki. Di Kota Semarang, seorang guru sekolah luar biasa memerkosa siswinya yang merupakan penyandang disabilitas.

Baca juga Dibutuhkan Negarawan

Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menyebut kasus kekerasan seksual di sekolah sebagai ”darurat” karena terus berulang dengan tren meningkat. Sanksi terhadap pelaku yang ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera disinyalir ikut memicu tindakan yang tak terpuji itu terus terjadi.

Tindakan kekerasan seksual di satuan pendidikan merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang harus ditangani dengan cara-cara yang luar biasa juga. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat sedikitnya 101 korban kekerasan seksual yang terjadi di satuan pendidikan pada Januari hingga Agustus 2024. Sepanjang 2023, jumlahnya tercatat dua kali lipat, yakni 202 anak.

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), tingginya kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan disebabkan oleh relasi kuasa antara guru dan murid yang tidak seimbang ditambah lemahnya pengawasan.

Napas pendidikan

Apa yang terjadi dengan para guru tersebut? Bagaimana tingkat dan kualitas kewarasan mereka sehingga tega melakukan perbuatan yang jauh dari kepantasan dan keadaban itu? Upaya apa yang mesti dilakukan agar guru tetap waras menjalani profesi kenabiannya sebagai guru?

Kekerasan seksual oleh guru terhadap anak didiknya mencederai pelayanan profetisnya sebagai guru. Aksi destruktif-peyoratif sejumlah guru yang jauh dari kepantasan dan keadaban itu menorehkan tinta hitam di jagat pendidikan.

Para guru pelaku kekerasan seksual itu, tingkat dan kualitas kewarasannya berada pada titik nadir. Mereka gagal menghayati profesi kenabiannya sebagai jalan kehormatan. Mereka pun gagal melaksanakan kewajiban profetisnya melindungi anak-anak didiknya.

Baca juga Merdeka, Belajar, Merundung

Guru pelaku kekerasan seksual (dan kekerasan fisik-psikis lainnya) dipertanyakan moralitasnya, penghayatan akan profesi mulia guru lemah, pemahaman terhadap nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai kemanusiaan yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan mahasempurna Ilahi sekulit ari.

Guru adalah napas pendidikan. Ekspektasi kita akan pendidikan bermutu untuk menuju bangsa maju, bermartabat, dan berdaulat hanya mungkin diwujudkan jika ditopang oleh guru-guru yang bermutu. Itulah sebabnya, guru bermutu adalah kuncinya. Mutu suatu bangsa sangat ditentukan oleh mutu gurunya. Pada titik ini, guru bermutu yang tetap menjaga kewarasannya dalam pelayanan profetisnya menjadi kemutlakan.

Dalam rangka menyiapkan dan menyediakan guru-guru bermutu, sesungguhnya rupa-rupa kebijakan dan program terus digulirkan. Kebijakan sertifikasi guru untuk mewujudkan guru-guru yang kompeten, yang memiliki kompetensi mumpuni sesuai bidangnya, terus diusung. Diharapkan kompetensi guru yang mumpuni, pelaksanaan proses pendidikan dan pengajaran berjalan sangkil dan mangkus, menyenangkan, bermutu, dan bermakna (berhasil guna-berdaya guna).

Baca juga Kemerdekaan dan Pendidikan

Dengan kepemilikan kompetensi yang mumpuni, guru semakin profesional dalam memfasilitasi para insan pendidikan potensial untuk mengaktualisasi potensi-potensi kreatif yang mereka miliki. Pada titik ini, upaya pemerintah dan sejumlah pihak lainnya memacu peningkatan kompetensi guru menemukan aktualitasnya.

Humanis-altruistik

Di tengah dinamika jagat pendidikan dengan segala dimensinya, perubahan, tantangan, dan persoalan yang menyertainya, selain membangun pribadi guru yang cerdas secara kognitif, hal sangat penting lainnya adalah membangun dan menjaga kewarasan guru. Membangun guru-guru yang waras, guru-guru yang humanis-altruistik adalah kemutlakan.

Ini artinya, guru yang tidak hanya cerdas, tetapi juga mampu menciptakan kondisi manusiawi dalam proses pembelajaran. Guru yang mampu membantu para siswanya untuk menjadi lebih manusiawi lewat pembelajaran yang menghargai dan menghormati kemanusiaan sebagai makhluk ciptaan.

Marry Leonhart menyatakan, sekolah yang baik adalah sekolah yang para gurunya sayang dan mengenal siswanya dengan baik. Semakin guru mengenal secara pribadi para siswanya, semakin memungkinkan guru mempunyai etos mendidik yang kuat dan penuh cinta.

Baca juga Proklamasi Kemerdekaan yang Sarat Makna

Dengan kewarasan guru, relasi guru dan siswa akan menjadi relasi khas pendidikan yang manusiawi-inklusif. Di sana, ada relasi-interaksi kasih yang memungkinkan seluruh siswa berbaur saling belajar dan saling mengasah hati untuk menjadi semakin manusiawi (humanis-altruistik).

Mendidik, menyampaikan nilai-nilai (values), atau mengajarkan keutamaan hidup yang berguna bagi masa depan anak, (hampir) pasti melekat dan dilakukan oleh guru yang waras. Guru mesti memberikan keyakinan kepada para siswa bahwa sekolah adalah rumah kedua yang nyaman dan aman. Taman untuk setiap siswa belajar, bertumbuh, berkembang, mekar, mewangi, dan berbuah. Guru di sekolah menjadi orang tua yang perilaku dan tutur katanya menyejukkan dan meneduhkan setiap hati siswa.

Ini sangat penting mengingat sebagaimana yang diungkapkan oleh pakar pendidikan, J Drost SJ, bahwa siswa lebih banyak mengingat apa yang dilakukan gurunya daripada yang diajarkan gurunya.

Saksi hidup

Kini, banyak siswa tak lagi mendengarkan guru, tetapi mendengarkan sungguh-sungguh seorang saksi. Andaikan para siswa mendengarkan para guru, itu terjadi karena mereka adalah saksi-saksi hidup. Untuk itu, guru mesti menjadi saksi hidup cara berperilaku, bertutur kata, dan berelasi dengan sesama, menyapa, mengenal, menghargai, dan menghormati siswanya. Guru harus waras di tengah segala kelemahan yang dimilikinya, di tengah situasi yang kian edan saat ini.

Untuk menjadi waras, guru wajib memiliki, menghayati, dan mengimplementasikan nilai-nilai keutamaan hidup. Menyapa, menghargai, menaruh hormat, berterima kasih, minta tolong atau minta maaf adalah sebagian keutamaan yang harus ada dalam kehidupan bersama di kalangan siswa yang dimulai di ruang-ruang kelas.

Baca juga Jamaah Islamiyah, dari Johor Berakhir di Bogor

Nilai-nilai keutamaan hidup tersebut tidak cukup hanya disampaikan bersemuka di depan kelas. Ia butuh sosialisasi, desiminasi, dan internalisasi. Agar penyampaian nilai-nilai keutamaan hidup itu berjalan sebagaimana yang diharapkan, sekolah mesti membuat sistem yang mampu melayani pendidikan nilai untuk semua siswa.

Di sini, hal yang penting dilakukan, selain meningkatkan mutu guru dalam berbagai dimensinya lewat pengembangan secara berkelanjutan, juga menjaga kewarasan guru. Lewat mekanisme ini, guru terdorong untuk terus memperbaiki dan meningkatkan kompetensi diri agar mampu memberikan pelayanan yang optimal-humanistik kepada siswa sehingga para siswa kita mampu menjadi lebih manusiawi (lebih humanis-altruistik).

Menjadi guru, sebagai pengajar dan juga pendidik, yang bekerja di jalan kehormatan adalah panggilan mulia. Mengajar dan mendidik pada hakikatnya adalah proses pemanusiaan manusia muda (siswa) menuju kepenuhan dan keutuhan dirinya. Proses itu akan berjalan sangkil dan mangkus bila ditangani oleh guru yang tidak hanya ahli di bidangnya, tetapi juga waras-humanis-altruistik yang menghargai dan menghormati martabat siswa.

*Artikel ini telah tayang di laman kompas.id edisi Kamis 17 Oktober 2024

Baca juga Pesan Damai Grand Sheikh Al-Azhar dan Antikekerasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *