21/12/2023

Polarisasi dan Pentingnya Akal Sehat

oleh: Faruq Arjuna Hendroy,
Sarjana Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Indonesia akan menghadapi salah satu momen yang penting. Pada 14 Februari 2024 nanti, masyarakat Indonesia akan mengikuti Pemilu untuk memilih pemimpin baru baik di level eksekutif maupun legislatif. Pemimpin baru ini akan menentukan bagaimana perjalanan Indonesia ke depan dalam menyongsong proyeksi 100 tahun Indonesia merdeka atau biasa disebut Indonesia Emas 2045.

Dalam setiap edisi pemilu ada satu hal yang tidak berubah. Panasnya kontestasi politik ini menimbulkan gejolak sosial yang dahsyat, bahkan sampai ke akar rumput. Ini karena tiap-tiap pendukung, kader, dan simpatisan terlalu bersemangat mendukung calonnya masing-masing, bahkan sampai pada tahap mengkritik dan mendiskreditkan calon lain dan para pendukungnya.

Baca juga Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

Sebagian dari para pendukung calon ada yang sampai terbawa suasana. Rivalitas antarcalon membuat mereka juga terbelah, sekalipun sebelumnya mereka adalah teman atau keluarga. Beberapa kasus pada Pemilu 2019 lalu misalnya, menunjukkan insiden di mana dua orang sahabat yang bertetangga, tidak saling tegur sapa saat masa pemilu berlangsung. Bahkan setelah pemilu selesai dan pemimpin baru terpilih, hubungan mereka tetap tidak membaik. Mereka tetap tidak bertegur sapa sampai bertahun-tahun kemudian. Dalam kasus yang paling ekstrem, ada juga kasus di mana sepasang suami istri bahkan sampai bercerai hanya karena berbeda pilihan dalam memilih pemimpin. Ini tentu menjadi masalah yang sangat memprihatinkan.

Keterbelahan atau dalam bahasa politik kerap dikenal dengan istilah polarisasi pada dasarnya adalah sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi. Setiap calon yang maju membawa gerbong pendukungnya masing-masing, dan tidak dapat dipungkiri, kontestasi akan menjadikan mereka berada dalam dua atau tiga posisi yang berseberangan. Masalah timbul ketika para kontestan atau politikus secara umum mengkapitalisasi polarisasi itu untuk meraih ceruk dukungan dan menyolidkannya, tanpa peduli akan efek jangka panjang yang timbul di kalangan masyarakat.

Baca juga Kenapa Orangtua Menganiaya Anaknya?

Argumen ini sejalan dengan teori polarisasi yang dikemukakan oleh McCoy dan Somer. McCoy dan Somer mendefinisikan polarisasi sebagai proses ketika perbedaan dalam masyarakat mendorong mereka untuk mempersepsikan posisi mereka sebagai ‘kami vs mereka’. Lebih jauh McCoy dan Somer menjelaskan, polarisasi tidak selalu disebabkan oleh faktor politik yang mendasar atau susunan institusional tertentu, tetapi justru dipicu oleh aktor politik yang mengejar tujuan politik mereka dengan cara memecah belah, menyebarkan ujaran kebencian, dan mengeksploitasi keresahan masyarakat.

Pandangan McCoy dan Somer ini perlu kita cermati bersama, bahwa masyarakat akar rumput adalah pihak yang paling terdampak dari ‘permainan politik’ yang dilakukan oleh aktor-aktor politik.

Baca juga Perluas Hak Korban dalam Proses Peradilan Pidana

Jika merujuk pada teori polarisasi tersebut, maka tidak heran kerasnya rivalitas politik menciptakan rasa memiliki (sense of belonging) dan solidaritas yang kuat antara pendukung dan yang didukung. Ketika salah satu calon menyerang calon lainnya, maka para pendukung akan ikut melancarkan serangan. Sedangkan bagi calon yang diserang, akan melakukan serangan balik yang juga diikuti oleh para pendukungnya.

Di situlah polarisasi itu akan terus berputar seperti rantai, melanggengkan kebencian antarkelompok yang berbeda. Bagi sebagian orang, kebencian ini akan berlanjut karena didorong oleh ego, bahkan setelah kontestasi berakhir. Mereka merasa gengsi untuk memulihkan hubungan, dan memilih melanjutkan untuk mempertajam polarisasi itu. Nahasnya, para elit di atas hampir dapat dipastikan juga tidak tahu soal keretakan hubungan yang tercipta di masyarakat.

Baca juga Rekayasa Media Sosial yang Meresahkan

Oleh karena itulah, masyarakat awam perlu memperkuat nalar kritis mereka agar tidak larut dalam suasana kontestasi politik yang memabukkan. Memilih pemimpin memang perkara yang serius. Tapi di atas itu semua, perlu diingat bahwa kontestasi politik dalam bentuk pemilu atau pilkada tidak lebih dari kompetisi biasa. Artinya, ketika kontestasi politik usai, maka segala rivalitas dan persaingan pun ikut berakhir.

Jika masih ada hal-hal yang dirasa tidak adil dalam proses kontestasi politik itu, maka kita bisa menempuh jalur konstitusional yang telah disiapkan oleh negara. Kita tentu tidak ingin, insiden protes Pemilu 2019 akibat ketidakpuasan salah satu calon yang berujung pada hilangnya sejumlah nyawa terjadi kembali. Apapun hasil dari sebuah kontestasi politik tidak sebanding dengan satu nyawa yang hilang.

Baca juga Perspektif Korban untuk Dialog Damai Israel-Palestina

Satu hal yang perlu diingat, dalam dunia politik, tidak ada teman atau musuh abadi. Yang ada hanyalah kepentingan. Prinsip itulah yang dianut dalam setiap kontestasi politik. Bongkar pasang koalisi adalah hal yang lumrah. Jangan heran, kalau melihat kontestan A dengan B berkompetisi ketat pada kontestasi saat ini, maka pada kesempatan berikutnya akan berada pada satu gerbong.

Para politikus itu tidak pernah serius dalam menjalin atau memutuskan hubungan di antara mereka. Semuanya didasarkan pada kalkulasi politik yang menguntungkan. Oleh karena itu, masyarakat tidak perlu sampai baperan dalam memberikan dukungan. Jika hubungan antara politikus bisa sangat cair, sebaliknya hubungan masyarakat yang notabene hanya pendukung bisa retak selama-lamanya. Jangan sampai kita menggadaikan persatuan di antara kita hanya demi nafsu politik lima tahunan.

Baca juga Menjadi Guru yang Humanis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *