04/12/2023

Perspektif Korban untuk Dialog Damai Israel-Palestina

Oleh: Faruq Arjuna Hendroy
Sarjana Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Konflik Israel-Palestina telah menyita perhatian masyarakat dunia. Perang yang dimulai sejak tanggal 7 Oktober 2023 ini telah mengakibatkan kerusakan yang sangat fatal terutama di kubu Palestina. Perang ini akan terus berlanjut karena belum ada keinginan dari kedua belah pihak untuk melakukan gencatan senjata permanen. Itu artinya jumlah korban yang berjatuhan rawan terus bertambah.

Konflik antara Israel dan Palestina ini telah terjadi hampir satu abad. Keduanya belum menemukan titik temu penyelesaian konflik. Upaya perdamaian sebenarnya terus digalakkan oleh komunitas internasional, utamanya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan sejumlah aktor global power lainnya, namun selalu berujung nihil. Eskalasi konflik terus terjadi tanpa memerhatikan nasib warga sipil yang paling terdampak dari perang.

Baca juga Menjadi Guru yang Humanis

Di sisi Palestina, yang dalam hal ini adalah Hamas, ingin merebut kembali tanah mereka yang terus menyempit akibat aneksasi Israel. Terlebih lagi, Hamas menganut ideologi one state solution, di mana kelompok ini hanya ingin wilayah dari sungai Jordan hingga Laut Mediterania semuanya kembali menjadi milik Palestina seperti dahulu. Atas dasar itu, Hamas mengambil sikap yang lebih ‘radikal’ dalam melawan Israel ketimbang kolega mereka, Fatah, di Tepi Barat.

Sementara dari sisi Israel, mereka juga punya keinginan untuk menjadi satu-satunya pemilik Yerusalem dan wilayah sekitarnya itu. Sejak memenangkan pertempuran melawan bangsa Arab di tahun 1948, 1967, dan 1973, Israel seolah berada di atas angin. Israel merasa seperti pemenang, dan oleh karena itu terus berupaya memerluas pemukiman ke wilayah-wilayah yang masih dikuasai Palestina. Kecaman datang dari berbagai pihak, namun Israel cuek. Aktivitas perluasan pemukiman ini juga yang terkadang memicu gesekan antara petugas keamanan Israel dengan warga sipil Palestina, yang kemudian bereskalasi menjadi perang besar.

Baca juga Mitos Literasi dan Kemalasan

Dialog antara Arab dan Israel sudah beberapa kali diupayakan di tengah-tengah konflik yang terjadi. Yang paling terkenal contohnya Perjanjian Camp David tahun 1978. Lebih kurangnya, perjanjian ini berisi normalisasi hubungan Israel dengan Mesir, pasca-jatuhnya Semenanjung Sinai ke Israel pada perang 1973. Perjanjian Camp David ini juga menjadi pembuka terjalinnya hubungan diplomatik resmi antara Mesir dan Israel, dan menjadi perjanjian damai pertama Israel dengan tetangga Arabnya. Namun perjanjian ini tidak bisa membawa kedamaian penuh di Timur Tengah, karena hanya didasarkan atas kepentingan negara terkait, yang dalam hal ini Mesir dan Israel itu sendiri.

Lalu dialog damai terulang kembali dalam wujud Perjanjian Oslo I pada tahun 1993 dan Perjanjian Oslo II pada tahun 1995. Sebenarnya titik terang perdamaian di Timur Tengah mulai tampak lewat dua perjanjian ini. Kurang lebih perjanjian ini memberikan hak hidup bagi dua entitas, yaitu Israel dan Palestina untuk hidup berdampingan sebagai dua negara berdaulat. Baik Israel maupun Palestina harus mulai mengakui eksistensi masing-masing. Israel saat itu mau menarik pasukannya dari Gaza dan menahan diri memprovokasi Palestina.

Baca juga Tentang Literasi

Sebagian warga Israel maupun Palestina sempat merasakan kebahagiaan sesaat, di mana mereka bisa merasa aman dari gempuran rudal dan roket yang bisa mengancam nyawa mereka kapan saja. Dialog damai itu juga memberikan secercah harapan akan adanya masa depan yang lebih damai antara kedua kubu. Namun lagi-lagi, ada saja pihak yang mengacaukan upaya perdamaian, terutama setelah Yitzak Rabin, Perdana Menteri Israel yang menginisiasi perdamaian itu dibunuh oleh ekstremis Zionis.

Konflik ini terus berlanjut karena pihak-pihak yang terlibat terus mengejar kepentingan sendiri-sendiri. Padahal konflik bisa saja diselesaikan dengan baik, jika pihak-pihak yang bertikai mau menggunakan perspektif korban. Perspektif korban sangat penting dalam membuka mata siapa pun bahwa perdamaian itu sangat penting.

Baca juga Menggunakan Teknologi AI bagi Kemanusiaan

Perspektif korban akan mendorong kita untuk menghargai tiap-tiap nyawa manusia, terlepas dari apa pun suku, ras, dan agamanya. Perang, sebaliknya, hanya akan mengakibatkan hancurnya kemanusiaan, hanya untuk melampiaskan ego sesaat.

Perspektif korban memang selalu dikesampingkan dalam isu Palestina-Israel ini, meskipun korban inilah sebenarnya yang paling merasakan dampaknya. Mayoritas para korban di sini adalah warga sipil. Bahkan dalam konteks Gaza saja, setengah dari para korban itu adalah anak-anak yang sebenarnya masih punya masa depan. Terlebih lagi, cukup sedih rasanya ketika melihat orang-orang menangis histeris karena kehilangan orang terkasih akibat perang yang berlarut-larut.

Baca juga Integritas Santri dan Mandat Keadaban Publik

Kehilangan ini seharusnya tidak terjadi, jika para pengambil kebijakan dari kedua kubu (Israel dan Palestina/Hamas) lebih memprioritaskan nasib warga mereka yang akan menjadi korban, kalau perang dilakukan. Perspektif korban akan mendorong para pengambil kebijakan di kedua kubu untuk mengedepankan nasib warga sipil mereka masing-masing, sehingga mereka bisa mencari alternatif lain dalam penyelesaian masalah. 

Penulis jadi teringat sebuah pepatah; “Orang tidak akan mengerti bagaimana perasaan kita sebelum mereka juga merasakan hal yang sama.” Dalam kasus konflik Israel-Palestina, korban atau pun keluarga di kedua sisi sebenarnya sudah sama-sama merasakan penderitaan selama bertahun-tahun. Teriakan untuk dapat hidup bertetangga secara damai menggema dari para pencari perdamaian di kedua kubu.

Masalahnya, perspektif korban selalu kalah oleh kepentingan dan ego. Penulis yakin, jika perspektif korban ini diutamakan, dialog atau perjanjian antara keduanya akan menghasilkan perdamaian abadi, tidak seperti yang sudah-sudah. Semoga

Baca juga Perundungan, Otak, dan Karakter Pelajar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *