12/12/2023

Perluas Hak Korban dalam Proses Peradilan Pidana

Oleh Nursyahbani Katjasungkana,
Ketua Pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia

Pada 1999, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan tanggal 25-10 Desember sebagai Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Kampanye ini bertujuan meningkatkan kesadaran publik bahwa perempuan telah menjadi korban segala bentuk kekerasan, baik di ranah privat maupun publik.

Berbagai bentuk kegiatan dilakukan mulai dengan pengungkapan data kekerasan yang terjadi hingga yang bersifat advokasi kebijakan. Para capres pun tidak ketinggalan mencantumkan penghapusan kekerasan ini dalam visi dan misinya. Namun satu hal yang luput dari perhatian adalah membincangkan hak-hak korban yang dalam hukum acara pidana kita sangat terbatas perlindungannya.

Baca juga Rekayasa Media Sosial yang Meresahkan

Dibandingkan dengan hak tersangka yang diatur cukup rinci, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya mengatur satu pasal tentang hak korban. Demikian pula dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengatur hak korban atas ganti rugi (Pasal 14c).

Pasal 98 KUHAP pada pokoknya menyatakan bahwa jika perbuatan pidana yang dilakukan telah merugikan orang lain, maka atas permintaan korban, jaksa dapat menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian dalam perkara pidananya. Artinya, jika korban tidak minta penggabungan, ia harus menunggu sampai putusan berkekuatan tetap agar dapat mengajukan gugatan ganti rugi ke peradilan perdata.

Baca juga Perspektif Korban untuk Dialog Damai Israel-Palestina

Alangkah panjangnya penantian korban untuk memperoleh ganti rugi akibat perbuatan terdakwa. Biaya yang harus dibayar cukup mahal apalagi sampai harus melakukan permohonan eksekusi. Untuk memperluas akses keadilan bagi kelompok miskin dan rentan, pemerintah menyediakan dana bantuan hukum meski jauh dari mencukupi dibandingkan dengan jumlah kasus yang terjadi.

Sementara itu, KUHAP mengatur sederet hak tersangka yang dimuat dalam Pasal 50-68 dan pasal-pasal lainnya. Tersangka juga berhak mengajukan pra-peradilan atas perintah penangkapan, penahanan, atau tindakan lainnya, seperti penggeledahan, penyitaan, atau memasuki rumah tanpa alasan yang dibenarkan menurut UU (Pasal 77).

Baca juga Menjadi Guru yang Humanis

Selain itu, tersangka mempunyai hak mengajukan upaya hukum biasa (banding dan kasasi) serta luar biasa (peninjauan kembali dan pemeriksaan kasasi untuk kepentingan hukum). Sebagai terpidana, berhak juga menerima remisi dan pembebasan bersyarat.

Hak korban diperluas

Sejak hadirnya UU No 13/2006 tentang Lembaga Perlindungan Sanksi dan Korban (UU LPSK), hak korban dalam KUHAP itu diperluas. Korban berhak atas keamanan diri dan keluarga, hak bantuan hukum, hak atas informasi penyelesaian perkara, hak bantuan biaya hidup, medis dan psikososial, hak memberikan kesaksian di luar persidangan, dan hak tidak dapat dituntut atas kesaksian atau laporannya. UU LPSK juga mengatur hak korban untuk mendapat penerjemah, bebas dari pertanyaan yang menjerat, mengetahui perkembangan kasus, informasi atas putusan dan hak mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan.

Namun, dalam praktik, para hakim sering mengabaikan hak-hak korban ini. Misalnya saja, hakim jarang sekali menanyakan apakah korban didampingi penasihat hukum atau tidak. Lebih-lebih dalam kasus kekerasan seksual yang persidangannya tertutup, para hakim sering melarang advokat dan pekerja bantuan hukum untuk mendampingi korban.

Baca juga Mitos Literasi dan Kemalasan

Kehendak politik untuk memihak dan menghargai korban dalam peradilan pidana sebetulnya sudah ada. Pasal 55 UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) menyatakan bahwa ”keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya”.

Dalam praktik penanganan kasus KDRT, jika terdakwa menyangkal, cukup sulit untuk menghadirkan alat bukti lainnya, seperti visum, saksi ahli, atau saksi lainnya. Apalagi saksi-saksi pada umumnya anggota keluarga atau orang yang bekerja di rumah tangga tersebut. Pasal 168 KUHAP mendiskualifikasi saksi-saksi yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan korban atau dengan terdakwa ini.

Baca juga Tentang Literasi

Selain itu, tidak ada aturan yang mewajibkan hakim menghadirkan korban sejak proses pemeriksaan terdakwa dilakukan. Korban hanya dipanggil saat ia diperlukan keterangannya di muka sidang. Sebaliknya, jika terdakwa tidak ditahan dan tidak hadir di persidangan, tidak ada kewajiban agar terdakwa hadir saat pemeriksaan saksi korban.

Terkait dengan sikap dan tindakan yang seharusnya dilakukan para hakim dalam mengadili perempuan berhadapan dengan hukum, Mahkamah Agung juga telah mengeluarkan Peraturan MA (Perma) No 3/2017. Namun, dari pengalaman menangani kasus selama ini, kemampuan para hakim dan aparat penegak hukum lainnya dalam menganalisis kasus dari perpektif perempuan dan kelas sosial masih harus ditingkatkan.

Baca juga Menggunakan Teknologi AI bagi Kemanusiaan

Baik KUHAP maupun UU LPSK, sama sekali tidak mengatur hak korban untuk mengajukan upaya hukum. Sebagai orang yang terdampak langsung oleh kejahatan terdakwa, sudah seharusnya korban mendapat hak tersebut. Lebih-lebih jika putusan dirasa tidak adil atau jaksa telah melakukan kesalahan dalam surat dakwaannya.

Pada dasarnya, hukum pidana berfungsi untuk melindungi kepentingan korban dan kepentingan umum. Karena itu, kejaksaan dianggap mewakili kepentingan korban. Dalam banyak kasus, termasuk dalam menggunakan upaya hukum dan keputusan besarnya ganti rugi dan restitusi, korban sangat bergantung pada keputusan jaksa.

Baca juga Integritas Santri dan Mandat Keadaban Publik

Jika kejaksaan tidak menyatakan banding, korban harus diberi hak untuk mengajukan upaya hukum, banding atau kasasi, serta menyusun memori banding dan kasasinya sendiri (atau dengan bantuan penasihat hukumnya). Jika tidak mungkin, korban mengambil alih proses banding, harus ada cara untuk mengakomodasi hak korban untuk menggunakan upaya hukum.

Komisi Kejaksaan seharusnya berperan dan pro-aktif dalam mengawasi fungsi kejaksaan ini untuk tegaknya kepentingan korban dan sekaligus kepentingan umum. Demikian pula dengan LPSK, sebagai lembaga yang diberi mandat untuk melindungi korban, seharusnya tidak membatasi perannya pada penghitungan ganti rugi semata. LPSK harus bekerja demi terciptanya keseimbangan antara keadilan bagi korban dan pemulihan keselamatan umum.

Belanda dan Uni Eropa

Pengabaian hak korban sebetulnya merupakan fenomena global, suatu perbedaan perlakuan yang abadi antara korban dan terdakwa. Dalam beragam sistem hukum, hak tersangka/terdakwa lebih menonjol daripada hak korban. Hal ini, pertama-tama karena tersangka/terdakwa dianggap langsung berhadapan dengan alat-alat represi negara yang berpotensi menghilangkan hak atas kebebasannya, harta bendanya dan bahkan hak hidupnya. Sementara kepentingan korban cukup diwakili oleh polisi/jaksa dan hanya diperhitungkan soal kerugiannya yang diwujudkan dalam bentuk uang saja.

Sebagaimana dilansir media, negara-negara Uni Eropa sedang melakukan upaya untuk memperkuat posisi korban ini. Komisi Eropa mengusulkan agar korban diberikan posisi yang lebih kuat dalam proses peradilan pidana. Komisi juga mengusulkan agar korban dapat memperjuangkan hak-haknya sendiri sehingga tidak lagi tergantung dari kejaksaan.

Baca juga Perundungan, Otak, dan Karakter Pelajar

Banyak kasus menunjukkan bahwa korban telah diperlakukan tidak adil dalam proses peradilan pidana. Mereka sering dibatasi haknya untuk bicara, memperoleh informasi yang salah dari jaksa, atau malah tidak memperoleh informasi apa pun tentang kasusnya. Agar proses pemulihan korban lebih efektif, Komisi juga mengusulkan ganti rugi dan kompensasi untuk korban harus diselesaikan bersamaan dengan proses peradilan pidananya.

Korban tidak harus menjalani proses yang mahal dan panjang, apalagi harus menempuh jalur perdata sendiri. Hal ini diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara hak korban dan perlindungan hukum yang diberikan kepada terdakwa.

Baca juga Membumikan Kebudayaan Inklusif

Namun, usulan Komisi Eropa ini masih harus disetujui oleh Dewan Uni Eropa dan parlemen Eropa sebelum akhirnya harus dilegislasikan lagi di tingkat negara masing-masing.

Di Belanda terdapat Dewan Bantuan Korban yang mendampingi korban memperoleh hak-haknya. Praktiknya, negaralah yang terlebih dahulu membayar ganti kerugian. Lalu, Badan Penagihan Peradilan akan meminta kepada terpidana untuk menggantinya. Dari tahun ke tahun, dukungan politik dan pemberdayaan terhadap korban telah meningkat.

Baca juga Memastikan Dukungan Terbaik di Ruang Pendidikan

Baru-baru ini DPR Belanda mengajukan rancangan UU yang, antara lain, mengusulkan agar terdakwa hadir saat korban memberikan kesaksiannya. Jika korban meninggal, kerabat dekatnya juga berhak untuk mewakilinya serta memperoleh hak untuk layanan pemulihan. Hak pemulihan diberikan juga kepada terpidana dengan hukuman masa percobaan. Terpidana dikirimkan ke sebuah lembaga yang akan memulihkannya sebagai anggota masyarakat. Lagi-lagi, terpidanalah yang memperoleh hak pemulihan seperti ini.

Guna menjamin hak dan kepentingan korban, jaksa dilarang membatalkan dakwaan dan atau menuntut pembebasan terdakwa, tanpa konsultasi dan kesepakatan korban. Diusulkan pula adanya proses sela atau acara cepat (kort geding) untuk memperoleh hak banding bagi korban.

Baca juga Generasi Digital Harus Melakukan Detoksifikasi Teknologi

Perkembangan pemikiran yang terjadi di Belanda dan Uni Eropa menunjukkan bahwa negara mulai menyadari untuk mendudukkan korban sebagai pihak yang paling dirugikan. Karena itu, negara harus hadir untuk korban sebagai pihak yang paling berkepentingan dalam proses peradilan pidana. Jaksa harus menyadari bahwa hukum pidana dan lembaganya memiliki tanggung jawab khusus untuk melindungi kepentingan korban.

Senyampang pemerintah saat ini sedang menyusun peraturan pelaksanaan UU TPKS, perkembangan di Belanda dan Uni Eropa ini hendaklah dapat menginspirasi untuk menata ulang aturan-aturan berkaitan dengan saksi-saksi dan korban kejahatan.

*Artikel ini terbit di Kompas.id, Minggu 10 Desember 2023

Baca juga Melampaui Bayang-bayang Pendidikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *