Home Berita Mengenang Bom Bali 2002, Memendam Cerita Demi Sang Buah Hati
Berita - 07/03/2018

Mengenang Bom Bali 2002, Memendam Cerita Demi Sang Buah Hati

Ni Luh Erniyati, salah satu korban bom Bali bercerita tentang pedihnya kehilangan suami atas bom Bali. (Dery Ridwansyah/JawaPos.com)

 

Peristiwa Bom Bali Satu yang terjadi pada 12 Oktober 2002 lalu menyisakan banyak kisah. Atas peristiwa 16 tahun silam itu ratusan wisatawan asing dan masyarakat lokal menjadi korban. Tercatat ada 202 orang korban jiwa dan 209 orang mengalami luka-luka.

Ni Luh Erniyati. Dia memang bukan korban langsung atas Bom Bali Satu. Hanya saja pada peristiwa mengenaskan tersebut dia harus kehilangan suami tercinta, I Gede Badrawan. Ketika itu I Gede Badrawan tengah bekerja di Sari Club dan menjadi korban tewas.

“Saya kehilangan suami tercinta. Saya punya dua orang putra yang pada saat itu baru berumur sembilan tahun dan satu satu setengah tahun,” kata Erniyati di sela-sela diskusi bedah buku La Tay As, Jangan Putus Asa Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya.

Diskusi yang beralangsung di Hotel Akmani, Jalan Wahid Hasyim, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (24/2) itu, turut menghadirkan sejumlah tokoh sebagai narasumber. Yakninya, Azyumardi Azra (Guru Besar UIN Jakarta), Hasibullah Satrwawi (Penulis buku La Tayas Ali), Fauzi (Mantan Teroris), dan Ni Luh Erniyati (Korban Bom Bali).

Peristiwa bom Bali yang menewaskan sang suami itu terpaksa dipendam Erni beberapa tahun dari sang buah hati. Alasannya dua orang anaknya belum memahami peristiwa berdarah tersebut. “Anak saya yang kecil saat itu masih belum tahu tentang apa yang terjadi terhadap Bapaknya,” ujar Erniyati sembari menyeka air matanya.

Lebih jauh dia mengenang, sekitar pukul 23.05 Wita, 12 Oktober 2002 suasana sekitar tempat tinggal di sebuah rumah kontrakan memang telah gelap. Sebelum gelap gulita dia sempat mendengar suara ledakan besar. Akan tetapi Erni tidak mengira bahwa ledakan itu berasak daru bom RDX yang berbobot sampai 1 ton. “Tak ada terlintas sedikit pun bahwa itu adalah bom, saya kira itu gardu yang meledak di tengah jalan,” ungkapnya.

Seperti biasa perempuan berkulit sawo matang itu tetap menanti sang suami pada dini hari. Tepat pada pukul 04.00 sang suami tak kunjung menampakan diri di hadapannya.

Pagi harinya, para tetangga menyebut ada sebuah ledakan bom terjadi di bilangan Jalan Legian. Tetangganya pun bertanya kabar I Gede Badrawan yang tengah bekerja di Sari Club.

“Di luar rumah kost, teman-teman bilang ada bom. Tapi mereka hanya menanyakan kabar suami saya, saya bilang masih kerja,” papar Erniyati.

Lantas Erni merasa gusar setelah kabar ledakan semakin ramai dan suami tak kunjung tiba di rumah. Tak ayal hal itu membuat perasaannya tidak tenang. Erni pun memutuskan menyusul suami ke Jalan Legiyan, tempat suaminya bekerja.

Ternyata, di sana dia mendapatkan hamparan mayat yang berserakan di pinggir jalan. Seketika tangisnya pun pecah. Erni pun menerobos ke tengah kerumunan masa. Dia mencari suami, tapi tidak juga ditemukan.

“Saya lihat Sari Club itu sudah enggak ada. Yang ada hanya puing-puing kebakaran, bagaimana mengangkat potongan tubuh korban, itu yang saya lihat,” beber Erniyati sembari menahan air matanya.

Lantas dia berusaha mencari jasad suaminya di seluruh rumah sakit di Bali, namun tak semudah itu menemukan jasad sang suami, lantaran ratusan korban berjatuhan dari tragedi berdarah itu.

Empat bulan kemudian baru dia mengetahui keberadaan suaminya. “Mengakhiri penantian saya, setelah ada informasi dari rumah sakit, kalau suami saya telah diidentifikasi setelah empat bulan. Jadi selama empat bulan saya menunggu,” papar Erniyati.

Atas kejadian itu dia terpaksa menyandang status sebagai janda muda yang harus menghidupi dua orang buah hatinya yang masih kecil. “Tidak hanya kehilangan suami, tapi saya janda masih muda yang menghidupkan dua orang anak kecil,” urai Erniyati.

Meski demikian, kini Erniyati tidak mendendam sedikit pun terhadap pelaku Bom Bali Satu. Harapannya dengan kasih sayang dan memaafkan akan menumbuhkan seribu cinta dari hilangnya satu cinta di peristiwa Bom Bali.

“Yang dulu kita saling membenci, tapi dengan kasih sayang kita bisa menjadi saudara, itu harapan yang bisa saya miliki. Berharap inspirasi para korban akan menumbuhkan mungkin seribu cinta,” Erniyati menandaskan.

(rdw/JPC)

 

 

 

 

*Artikel ini pernah dimuat di JawaPos.com 24 Februari 2018.