Anakku Penguatku
Aliansi Indonesia Damai – “Saya langsung menyalakan televisi dan muncul berita bom Kedutaan Besar Australia.” Yuni Arsih mengingat kepiluan yang dirasakannya 16 tahun silam. Suaminya, Suryadi, meninggal dunia akibat aksi pengeboman di jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, 9 September 2004.
Setelah menyaksikan berita di layar televisi, Yuni bergegas menuju warung telekomunikasi (wartel) untuk menghubungi suaminya. “Telepon aktif, tapi tidak ada suara sama sekali,” katanya. Tak berselang lama, ada tamu datang memberitahukan bahwa Suryadi telah pergi untuk selamanya. Pihak keluarga diminta untuk menjemput jenazah di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Baca juga Berbagi Cerita Melawan Trauma
Yuni tak kuasa menahan tangisnya, begitu pula anaknya, Febri Reynaldi, yang masih berusia 5 tahun kala itu. Hampir seharian air mata keduanya terus mengalir, hingga akhirnya Febri terlelap tidur karena kelelahan. Yuni lantas berpesan kepada saudaranya agar sirine mobil ambulans dimatikan saat mendekati rumahnya. Ia tak ingin tidur anaknya terganggu.
Yuni masih ingat betul kondisi jasad suaminya yang masih utuh namun penuh lubang di hampir sekujur tubuhnya. Menurut informasi yang diterimanya, Suryadi terkena runtuhan pagar berduri kantor Kedubes Australia.
Baca juga Dukungan Kerabat untuk Pemulihan Korban Bom Kuningan
Sebelum musibah itu, Suryadi, Yuni, dan anaknya adalah keluarga sederhana yang bahagia. Suryadi terkena PHK akibat adanya pengurangan karyawan di tempat kerjanya. Walhasil ia melamar di perusahaan alih daya dan ditempatkan di kantor Kedubes Australia sebagai penata taman atau gardener.
Saat hari kejadian, sebelum berangkat Suryadi sempat berpesan kepada Febri yang terus merengek meminta ayahnya tak pergi bekerja. “Jaga Mama. Jadi anak yang pintar, sekolah yang rajin. Nanti Sabtu-Minggu pas ayah libur, kita akan jalan-jalan,” Yuni menirukan kata-kata terakhir almarhum.
Baca juga Menepis Amarah Membangun Damai
Sepekan setelah kepergian ayahnya, tampak perubahan psikis yang sangat mencolok dari diri Febri. “Ia lebih mudah emosi dan tidak mau berangkat sekolah,” tutur Yuni. Tentu ia tak ingin buah hatinya tumbuh dengan memendam amarah dan dendam. Ia berupaya sekuat tenaga mendidik dan mengasuh Febri agar bertumbuh kembang secara normal.
Yuni terus menyemangati dirinya agar ikhlas dan kuat menerima takdir, serta mampu bangkit dari keterpurukan. Sosok anak menjadi penguatnya untuk tetap berjuang menjalani hidup. Dalam beberapa kesempatan kegiatan kampanye perdamaian bersama AIDA, Yuni senantiasa berpesan agar kita saling memaafkan dan tidak membalas kekerasan dengan kekerasan.
Baca juga Jalan Panjang Pemaafan Penyintas Bom