Jalan Hijrah Mantan Ekstremis
Aliansi Indonesia Damai- Setiap orang pasti punya kesalahan. Tetapi sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah mereka yang mengakui kesalahannya dan mau bertobat. Petuah ini cocok sekali dengan kisah perjalanan hidup Sumarno, mantan pelaku terorisme.
Di hadapan puluhan siswa-siswi sekolah di Bandar Lampung beberapa waktu lalu, Sumarno menceritakan awal mula dirinya terjerembab dalam kubangan jaringan kekerasan. Sumarno dapat dikatakan ‘kurang beruntung’ akibat tumbuh di lingkungan pendukung kekerasan. Keluarga besarnya, gurunya, hingga temannya banyak terpapar ideologi kekerasan.
Baca juga Merajut Ukhuwah Merawat Perdamaian
Setiap kali dia berdialog soal agama, materinya tidak jauh-jauh dari kekerasan. Tidak adanya alternatif pemikiran lain membuatnya terlena mengonsumsi pemahaman-pemahaman ekstrem, hingga sampai titik membenarkan aksi kekerasan.
Keyakinannya terhadap ideologi kekerasan semakin mantap tatkala ia juga dibekali dengan kemampuan militer, seperti perakitan senjata api, menembak, hingga meracik bom. Lebih jauh ia memasok bahan-bahan peledak dari Jawa dan memfasilitasi keberangkatan para kombatan ke wilayah konflik di Ambon dan Poso. Pun saat salah seorang pamannya, Amrozi, tertangkap akibat terlibat dalam aksi Bom Bali 2002, ia menyembunyikan sisa-sisa bahan peledak dan senjata dari endusan aparat.
Baca juga Mereka yang Menemukan Jalan Kembali (Bag. 1)
Namun sepandai-pandai tupai melompat suatu saat akan jatuh juga. Bertahun-tahun Sumarno berkiprah di jaringan ekstrimisme, ia tertangkap pada tahun 2003. Setelah menjalani lebih kurang 23 persidangan, Sumarno divonis lima tahun penjara.
Penjara memberikan banyak kesempatan pada dirinya untuk melakukan kontemplasi hidup. Salah satu keyakinannya dan kelompoknya adalah bahwa Indonesia sudah siap menjadi negara Islam. Namun di penjara ia menjumpai fakta sebaliknya. Masih banyak orang Islam yang bolong-bolong dalam beribadah.
Dari situ ia menyadari bahwa ‘dakwahnya’ selama ini salah. Ia seharusnya mendidik masyarakat agar beribadah dengan benar, alih-alih mendukung kekerasan yang justru menimbulkan kegaduhan dan kerusakan. Pemahaman Sumarno tentang dakwah berubah.
Baca juga Mereka yang Menemukan Jalan Kembali (Bag. 2)
Tentu saja faktor hijrahnya Sumarno tak tunggal. Ia juga mendapatkan wejangan dari pamannya, Ali Imron, untuk menghentikan semua aksi kekerasan. Sumarno memang menghormati dan mematuhi pamannya itu. Ditambah lagi teman-teman kelompoknya seolah meninggalkan dirinya sendirian. Padahal dulu mereka didoktrin untuk tetap solid.
Dari sekian faktor hijrahnya Sumarno, perjumpaannya dengan korban adalah yang paling menyentuh hatinya. Dalam suasana penuh keharuan, Sumarno berucap, “Ketika saya dihadapkan pada korban bom, Masya Allah, saya menangis. Jadi ini ulah dari saya dan teman-teman saya yang dulunya ingin mengacaukan negara. Ada korban yang tubuhnya sudah tidak utuh, luka-luka, mayatnya tidak ditemukan. Kalau hal itu menimpa diri saya, mungkin saya tidak punya kesabaran seperti para korban.”
Baca juga Mereka yang Menemukan Jalan Kembali (Bag. 3-Terakhir)
Bak kepompong yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu nan cantik, Sumarno berevolusi dari seorang pelaku kekerasan menjadi penyeru perdamaian. Proses ini tidak mudah. Ia mendapat tekanan dari banyak pihak. Di satu sisi ia sulit diterima kembali oleh masyarakat, sedangkan di sisi lain ia divonis kafir dan bahkan mendapatkan ancaman fisik dari mantan kelompoknya.
Lambat laun, ikhtiar baik Sumarno berbuah manis. Ia kembali beraktivitas di tengah-tengah masyarakat dan meninggalkan masa lalunya yang kelam sepenuhnya. Sebagai wujud komitmennya, ia turut mengelola Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP) dan bergabung dalam kampanye-kampanye perdamaian AIDA.
Baca juga Keinsafan Mantan Napiter: Terlibat dan Tobat Karena Keluarga (Bag. 1)
Kepada generasi muda Bandar Lampung, ia berpesan tiga hal. Pertama, agar senantiasa menjaga keharmonisan dan perdamaian, karena berkat keduanya kita bisa beraktivitas dan beribadah dengan aman.
Kedua, generasi muda tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan. Ketiga, menanamkan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang damai. Ia mengutip Sabda Rasulullah SAW, “Seorang muslim adalah orang yang muslim lain selamat dari keburukan lisan dan tangannya.”
Baca juga Keinsafan Mantan Napiter: Terlibat dan Tobat Karena Keluarga (Bag. 2-Terakhir)