Dampak Berlipat Korban Terorisme
Aliansi Indonesia Damai– Anggun Kartikasari mencoba mengingat kembali peristiwa pilu yang menimpanya empat tahun silam. Tampak terasa berat, karena kisah itu ia ceritakan untuk pertama kalinya di hadapan khalayak umum. Ia memang selamat, namun adik sepupunya, Rico Hermawan, meninggal dunia akibat bom yang meledak di Jalan MH. Thamrin Jakarta Pusat.
Tika, sapaan akrab Anggun Kartikasari, mulanya berencana mengikuti pelatihan kerja di sebuah pabrik di Jepang. Sembari menunggu waktu pelatihan, ia memutuskan lebih awal datang ke Jakarta untuk merayakan tahun baru. Karena masih banyak waktu lowong, adik sepupunya, Rico, menawarkannya untuk mencari pekerjaan di ibu kota.
Baca juga Berbagi Cerita Melawan Trauma
Hari itu, 14 Januari 2016, ia bersama adiknya dalam perjalanan pulang dari mencari kerja. Di jalan, mereka terkena tindakan penilangan oleh polisi karena salah menggunakan jalur. Saat sedang menyelesaikan urusan di pos polisi seberang Plaza Sarinah Thamrin, ledakan terjadi. Tika tak menyadari dirinya terlempar ke tengah jalan.
“Banyak asap. Gelap. Ledakan itu begitu cepat, sampai saya tidak menyadari itu semua,” ujar Tika menceritakan momentum mencekam itu di hadapan para peserta Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme bagi Petugas Pemasyarakatan secara Daring, awal November silam.
Tika merasa mati rasa. Kakinya telah mengucurkan darah. Ia bingung mencari keberadaan adiknya. Ia berteriak meminta tolong, namun orang di sekitar tidak ada yang berani membantunya. Beruntung, seorang pengemudi ojek daring membantu memapahnya ke pinggir jalan. Dia lantas mencarikan taksi untuk membawa Tika ke rumah sakit terdekat agar segera mendapatkan pertolongan.
Baca juga Bersahabat dengan Mantan Ekstremis
Sesampainya di rumah sakit, Tika tak langsung mendapatkan pertolongan karena fasilitas yang tidak memadai. Ia pun dipindahkan ke RS Gatot Subroto Jakarta. Di sana ia mendapatkan pertolongan pertama dan menjalani proses operasi.
“Setelah operasi selesai, ditemukan banyak paku dan seng yang masuk ke dalam tubuh saya. Di pinggul, di paha, di perut, dan betis. Betis saya ini bolong karena tertancap paku,” katanya menjelaskan lebih rinci dampak ledakan itu.
Hampir dua minggu Tika menjalani perawatan di RS Gatot Subroto. Di tengah masa perawatan, ia mendapatkan kabar bahwa adik sepupunya telah meninggal dunia dalam serangan bom. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Pihak kepolisian melaporkan telah mengidentifikasi jenazah sang adik yang dinyatakan hancur akibat serangan tersebut.
Baca juga Semangat Belajar Penyintas Bom
Tika memutuskan pulang ke kampung halamannya di Kendal Jawa Tengah. Kakinya tak kunjung bisa digunakan berjalan. Ia kembali memeriksa keadaannya ke RSUP Kariadi, Semarang. Setelah pengecekan medis, ternyata ada bagian yang terlewatkan ketika operasi di Jakarta. “Tulang di kaki kanan saya patah, tapi tidak diketahui,” Tika berkisah.
Tenaga medis akhirnya melakukan operasi kembali. Tika harus menggunakan penyanggah kaki. Hampir 1 bulan ia tidak bisa berjalan sehingga harus menggunakan kursi roda. Sampai hari ini penyanggah tersebut belum diambil dari kakinya.
Tika gagal bekerja ke Jepang. Uang pelatihan yang sudah disetorkan juga tak bisa ditarik kembali. Hal yang paling menyesakkan adalah kehilangan adik sepupu yang telah dianggapnya bak adik kandung. “Saya tidak mendapatkan kerja, malah mendapat musibah,” ujarnya.
Baca juga Kekerasan Tidak Menyelesaikan Masalah