Ibu dan Ketangguhannya
Aliansi Indonesia Damai- Diprakarsai oleh para perempuan pejuang pergerakan kemerdekaan, terselenggaralah Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Topik yang diperbincangkan seputar persatuan, kemerdekaan, dan perbaikan nasib kaum perempuan. Kaum hawa ingin berpartisipasi aktif dalam pergerakan kemerdekaan, juga berupaya agar ada perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita.
Pada tahun 1959, Presiden Sukarno lantas mengukuhkan 22 Desember sebagai hari nasional yang bukan hari libur. Hari Ibu adalah untuk mengenang jasa perempuan sebagai sosok pejuang kehidupan, baik dalam lingkup keluarga maupun masyarakat lebih luas. Banyak perempuan telah membuktikan diri sebagai individu tangguh, mandiri, dan menolak takluk dari keterhimpitan situasi. Istri-istri korban terorisme adalah di antaranya.
Wartini, istri mendiang Syahromi, korban Bom Kuningan 2004, ditinggalkan suaminya saat masih mengandung janin berusia 6 bulan di kandungannya dan dua anak lainnya beranjak remaja. Nyaris saja ia putus asa karena tak mengerti harus berbuat apa. Namun Wartini menyadari bahwa nasib dan masa depan anak-anaknya sangat bergantung kepadanya.
Baca juga Menaklukkan Hati dengan Hati
Ia bekerja serabutan asalkan halal. Pernah hanya digaji 20 ribu sehari. Namun mengeluh adalah pantangan baginya. Wartini menerima berapa pun rezeki yang didapatkan asalkan bisa menafkahi anak-anaknya dengan cara yang halal. Perjuangan itu membuahkan hasil. Anak pertamanya telah menikah. Anak keduanya sudah tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi di Ibu Kota, sementara si bungsu masih di bangku SMP.
Dari Pulau Dewata, ada sosok Nyoman Rencini. Sang suami, Ketut Sumerawat, meninggal dunia akibat Bom Bali Oktober 2002. Sempat terbersit keinginan untuk mengakhiri hidup saja. Namun ketika melihat ketiga buah hatinya yang masih kecil, niat itu urung dilakukannya. Rencini tak mau meninggalkan kewajiban sebagai orang tua: mengasuh, menafkahi, dan mendidik anak-anaknya.
Ia berjanji pada diri sendiri untuk bangkit dan tidak mau larut dalam kesedihan. Anak-anaknya harus tetap hidup dan melanjutkan pendidikan. Rencini meyakini bahwa pendidikan adalah jalan agar masa depan anak-anaknya jauh lebih baik ketimbang dirinya.
Baca juga Generasi Z Menghadapi Ekstremisme
Tekad yang sama juga terpatri dalam diri Ni Wayan Rasni Susanti, janda mendiang I Made Sujana yang bernasib sama dengan Ketut Sumerawat. Kehilangan suami menjadi pukulan besar bagi Rasni dan keluarga. Ketiga anaknya menunjukkan perubahan sikap setelah kehilangan sosok ayah.
Anaknya yang pertama acap terlihat sedih padahal sebelumnya periang. Anaknya yang kedua kerap marah ketika melihat Rasni menonton televisi. Sementara anak ketiganya yang masih berusia tiga tahun saat ayahnya tiada, dengan polosnya selalu menanyakan kapan ayahnya pulang.
Menghadapi situasi yang berat, Rasni tak menyerah. Ia mendatangi sejumlah tempat untuk melamar pekerjaan. Namun ternyata tak mudah mendapatkan pekerjaan. Ia lantas memutuskan berdagang pakaian secara keliling. Hal yang selalu menguatkan langkah kakinya adalah cita-cita mendiang suami yang ingin semua anaknya bisa mengenyam pendidikan tinggi. Mimpi suaminya menjadikan langkah Rasni lebih kuat. Proses mencari nafkah, membesarkan anak, dan memulihkan diri berjalan secara bersamaan.
Baca juga Dari Penyintas Muda untuk Perdamaian Indonesia
Masih banyak kisah tentang perempuan-perempuan tangguh lain. Teror bom memang merenggut belahan jiwa mereka, namun tak pernah meruntuhkan jiwa keibuan mereka. Keibuan adalah kasih sayang tak berbatas. Keibuan adalah kekuatan mental dan fisik nyaris tanpa ambang batas.
Tak heran, Rasulullah Muhammad SAW saat ditanya oleh Sahabat Muawiyah bin Haydah Al-Qusyairi tentang sosok yang paling berhak mendapatkan penghormatan, beliau menjawab. “Ibumu, Ibumu, dan Ibumu. Kemudian bapakmu, dan kerabat-kerabat dekatmu.”
قلتُ يا رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم من أبرُّ قال أمَّك ثمَّ أمَّك ثمَّ أمَّك ثمَّ أباك ثمَّ الأقربَ فالأقربَ
(HR. Abu Dawud)
Baca juga Teladan Pemaafan dari Nabi