16/11/2020

Menaklukkan Hati dengan Hati

Aliansi Indonesia Damai- “Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (qalbu)” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sabda Nabi Muhammad SAW tersebut menunjukan bahwa hati tidak selalu benar dan baik. Ada kalanya hati dapat mengarahkan pemiliknya pada tujuan salah. Contoh jika hati memiliki sifat dendam, maka kemampuan akalnya akan mendorong untuk melakukan kejahatan. Hati dan akal adalah ada dua entitas tak terpisahkan pada diri manusia.

Baca juga Generasi Z Menghadapi Ekstremisme

Fenomena kekerasan yang melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia, seperti aksi-aksi perampasan harta yang disertai tindak kekerasan, pembunuhan, teror pengeboman, dan semacamnya berawal dari hati yang rusak. Korban yang berjatuhan akibat peristiwa tersebut harus menanggung dampak besar sepanjang kehidupan mereka. Sedangkan para pelaku kerapkali tidak menyesali perbuatannya. Sejumlah teroris bahkan meyakini perbuatannya sebagai kebenaran.

Penulis pernah mendapatkan cerita dari teman, petugas lembaga pemasyarakatan yang membina narapidana terorisme (napiter). Salah seorang napiter binaannya memiliki watak yang keras walaupun masih berusia remaja. Ia enggan mengakui perbuatannya meracik bom secara ilegal adalah kesalahan, menolak program-program pembinaan di Lapas, dan bersikap tak ramah terhadap para petugas. Sebagian petugas Lapas sempat menginginkan napiter tersebut segera dipindahkan ke Lapas lain.

Baca juga Dari Penyintas Muda untuk Perdamaian Indonesia

Namun teman penulis memiliki pemikiran lain. Dalam hati kecilnya tersembul optimisme bahwa remaja binaannya ini bisa berubah. Teman penulis lantas menggali informasi tentang keluarganya. Diketahui bahwa keluarga napiter tidak mendukungnya terlibat dalam kelompok-kelompok kekerasan. Ia merasa ada peluang untuk mengubahnya menjadi pribadi yang baik dengan dukungan dari keluarganya.

Ia juga rajin mengajaknya berdiskusi dan berbincang tentang pelbagai hal, terutama mengenai pendidikan formalnya yang berantakan dan masa depannya setelah lepas dari masa hukuman. Tentu saja pendekatan ini tak dalam hitungan hari. Butuh kesabaran dan keluasan hati.

Topik perbincangan lain adalah tentang kehidupan korban terorisme. Ia berbagi cerita penderitaan korban terorisme yang tak lain adalah saudara-saudara sebangsa, bahkan seagama. Korban adalah orang-orang tak bersalah yang harus menanggung derita berkepanjangan akibat aksi-aksi terorisme yang diklaim sebagai jihad. Namun demikian para korban terus berupaya bangkit dari keterpurukannya, bahkan kemudian memilih memaafkan para pelaku serangan yang membuat mereka menderita. Si napiter sama sekali tidak membantah narasi tentang korban terorisme.

Baca juga Teladan Pemaafan dari Nabi

Secara perlahan sikap dan perilaku napiter berubah; mau mengikuti program pembinaan di Lapas, ramah terhadap para petugas, dan melanjutkan pendidikan formal yang diselenggarakan pihak Lapas bekerja sama dengan salah satu sekolah tingkat atas. Kebenciannya terhadap negara terus memudar.

Dari kisah teman penulis, kita bisa belajar bahwa hati manusia memiliki kecenderungan menerima “pendekatan hati”. Hati adalah raja dalam jiwa; berkedudukan seperti penguasa yang mengatur pasukan dengan kewenangan mutlak; mengeluarkan instruksi kepada anggota badan lain untuk mencapai keinginannya. Hati akan menentukan seluruh anggota badan ke jalan yang benar atau salah. Karena itu untuk menaklukkan hati memang harus dengan “hati” karena memiliki derajat setara.

Baca juga Mantan Ekstremis Bicara Jihad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *