15/07/2021

Ketangguhan Istri Korban Bom Kuningan

“Waktu itu anak saya sempat melarang ayahnya bekerja, sampai dipeluk dengan kencang. Pokoknya nggak boleh pergi kerja. Ayahnya berpesan, sekolah yang pintar dan jaga Mama.”

Aliansi Indonesia Damai- Demikian Yuni Arsih mengenang kata-kata terakhir suaminya, Suryadi, yang meninggal dunia akibat Bom Kuningan 2004. Diiringi isak tangis, Yuni bercerita tentang perjuangan hidupnya setelah kepergian sang suami di hadapan ratusan peserta “Halaqah Alim Ulama: Menguatkan Ukhuwah Melalui Pendekatan Ibroh” yang digelar AIDA secara daring pekan lalu.

Yuni masih ingat hal-hal tak biasa yang dilakukan oleh suaminya menjelang berangkat kerja. Pagi itu, usai mengantarkan anaknya ke sekolah dekat rumahnya, Yuni buru-buru pulang ke rumah untuk menyiapkan bekal makanan untuk suami. Tetapi sesampainya di rumah, Suryadi ternyata sudah pergi menuju tempat kerjanya di kantor Kedubes Australia, di mana ia bertugas sebagai penata taman (gardener).

Baca juga Bersinergi Melawan Provokasi Kekerasan

Yuni juga mendengar cerita dari iparnya yang tinggal dekat dengannya tentang perilaku tak biasa sang suami. Saat berpapasan dengan keponakannya, Suryadi spontan menggendongnya yang lantas mengompol hingga membasahi baju Suryadi. Alih-alih balik ke rumah mengganti baju, ia malah lanjut berangkat ke tempat kerjanya.

Yuni lantas menjalankan aktivitas rumah tangga seperti biasa. Hingga kemudian Yuni menyalakan televisi dan menyaksikan berita ledakan besar di depan kantor Kedubes Australia kawasan Kuningan Jakarta Selatan. Ia yang dihinggapi kepanikan segera berlari ke warung telepon (wartel) untuk menghubungi Suryadi. Panggilan teleponnya tersambung, tetapi tidak diangkat.

Baca juga Pentingnya Saling Menyalehkan

Yuni kembali ke rumah untuk menyaksikan kelanjutan berita kejadian tersebut. Tubuh Yuni langsung lemas tak berdaya ketika melihat nama suaminya terpampang sebagai korban tewas di layar kaca.

Hidup Yuni berubah drastis seketika. Ia harus menjalani hidup tanpa suami, berjuang membesarkan buah hati seorang diri. Saat suaminya masih hidup pun, ia mengaku kehidupannya cukup susah. Apalagi setelah ditinggal suami, Yuni tidak bisa membayangkan bagaimana membesarkan anaknya.

Baca juga Menyerukan Semangat Perdamaian kepada Ulama Sulawesi

Terlebih lagi, kondisi psikis sang anak terguncang hebat mengetahui ayahnya telah wafat. Anaknya berubah menjadi keras kepala dan susah diatur. “Yang tadinya rajin belajar, terus tiba-tiba nggak mau sekolah. Susah banget diatur. Saya jadinya sampai bingung,” Yuni mengungkapkannya sambil menangis sesegukan.

Seiring waktu Yuni menyadari dirinya tak boleh berlama-lama meratapi nasib. Tiada guna sedih berkepanjangan. Kehidupan harus terus berlanjut. Fokusnya adalah membesarkan sang anak hingga menjadi orang bermanfaat di kemudian hari. Selain menyemangati diri sendiri, Yuni juga berusaha menyemangati anaknya agar tidak larut dalam kesedihan.

Baca juga Islam Rahmat Identik Perdamaian

“Saya pelan-pelan mendidik anak agar lulus SD. Saat masuk SMP, tidak mau sekolah lagi. Saya berusaha agar dia tetap sekolah, meskipun harus pindah sana-sini mencari sekolah yang nyaman untuknya. Yang penting saya sebagai ibu terus mendorongnya untuk sekolah sampai lulus,” kata Yuni.

Motivasi tak kenal lelah yang diberikan oleh Yuni akhirnya berbuah manis. Sang anak mau melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Pola pikirnya semakin dewasa. Sang anak ingin menjadi orang sukses agar kelak bisa membahagiakan ibunya. Kisah ketangguhan Yuni mendapatkan simpati dari peserta yang hadir. Salah seorang peserta merasa takjub atas kesabaran Yuni. “Ikut terharu mendengar cerita Ibu Yuni. Barakallah Bu atas semua kesabarannya,” tutur peserta tersebut. [FAH]

Baca juga Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *