Menangkal Ektremisasi di Medsos
Aliansi Indonesia Damai – Bekerja sama dengan Majelis Sinergi Kalam (Masika) Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Sulawesi Selatan, AIDA menggelar Diskusi dan Bedah Buku La Tay’as: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya, awal bulan ini. Salah satu narasumber yang dihadirkan adalah Solahuddin, pakar jaringan terorisme yang juga dosen tamu di Universitas Indonesia dan Universitas Melbourne, Australia.
Usai menyampaikan paparan tentang sejarah panjang terorisme di Indonesia, Solah, panggilan akrabnya, membuka forum diskusi dengan ratusan peserta yang bergabung secara daring. Salah seorang peserta mengungkapkan kekhawatiran atas maraknya rekrutmen kelompok ekstrem melalui media sosial (medsos). Seringkali mahasiswa menjadi target utama. “Apa langkah yang bisa dilakukan untuk menanggulangi hal tersebut?” ucapnya.
Baca juga Menguatkan Dakwah dengan Perspektif Korban dan Pelaku Terorisme
Menurut Solah, ada tiga platform yang sering digunakan kelompok ekstrem, yaitu WhatsApp, Telegram, dan Facebook. Ketiganya berperan efektif dalam menyebarkan paham ekstremisme di kalangan anak muda. Bahkan sekira 75% pelaku tindak pidana terorisme sejak tahun 2018 sampai sekarang mengalami ekstremisasi melalui platform daring.
Ada beberapa alasan kenapa medsos cenderung dipilih oleh kelompok ekstrem, terutama setelah lahirnya UU No. 5/2018, di mana orang yang melakukan kajian terbuka tentang ajaran terorisme dapat dijerat pidana. Selain itu medsos memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk tampil anonim atau memiliki multi-identitas. Beberapa jenis medsos bahkan telah dilengkapi dengan enkripsi yang menjamin keamanan isi percakapan. Ada pula fitur untuk secara otomatis menghapus pesan yang telah dibaca.
Baca juga Ketua Masika ICMI Sulsel: Terorisme Persoalan Bersama
Dari hasil risetnya, Solah menjelaskan bahwa medsos membuat rentang waktu individu dari awal terpapar hingga berani melakukan aksi menjadi semakin pendek. “Saya mencoba riset terhadap pelaku tindak pidana terorisme pada 2018. Kapan terpapar dan kapan melakukan aksi teror. 80% mengatakan bahwa dari pertama terpapar sampai melakukan aksi teror adalah 0-1 tahun, banyak yang belum sampai 1 tahun. Saya pernah ajukan juga periode 2002-2010. Rata-rata jawabannya 5-10 tahun,” ujarnya.
Untuk menangkal ekstremisasi di medsos, salah satu langkah yang bisa diambil adalah membanjiri media sosial dengan narasi-narasi perdamaian. Dalam hemat Solah, saat ini narasi perdamaian masih belum dominan di medsos dan cenderung kalah oleh narasi politik yang seringkali membuat situasi semakin rumit.
Baca juga Ibroh dari Penyintas Bom: Tak Ada Kejadian di Luar Takdir
“Kita harus membanjiri narasi perdamaian di platform yang tepat. Kalau misalkan mau melakukan kampanye damai di platform yang tidak digunakan oleh mereka, ya itu kurang efektif, karena memang tempatnya bukan di sana,” ucapnya.
Solah juga mendorong generasi muda untuk berpikir kritis dan tidak sungkan melakukan adu argumentasi di medsos. Hal ini mengingat fakta banyaknya pemuda yang mau bergabung karena mudahnya memercayai bahwa apa yang disampaikan oleh kelompok ekstrem benar-benar berdasarkan Al-Qur’an dan hadis.
Baca juga Saat Mantan Napiter Berkisah Perjalanan Hidupnya
“Saya pernah menangani para deportan yang membuat saya kaget. Ketika saya tanya bagaimana mereka terpapar, mereka mengaku bahwa biasanya menerima begitu saja argumen yang mengutip Al-Qur’an dan hadis,” katanya.
Solah menegaskan, jika pemuda memiliki nalar kritis, maka tidak akan menerima begitu saja setiap doktrin, termasuk yang mengklaim berdasarkan agama. “Karena kita tahu bahwa ada yang namanya ulumul qur’an, interpretasi Al-Qur’an, yang tidak bisa ditafsirkan oleh sembarang orang. Begitu juga hadis. Bukan berarti orang yang mengutip Al-Qur’an atau hadis pasti benar,” katanya tegas. [WTR]
Baca juga Dendam Tak Mengembalikan yang Hilang