Refleksi Hari Ibu:
Perempuan, Kasih Sayang dan Perdamaian
Oleh Linda Astri Dwi Wulandari
Asisten Program Manager Rehabilitasi AIDA
Momentum Hari Ibu, 22 Desember mengingatkan saya pada perjumpaan-perjumpaan dengan beberapa sosok ibu tangguh, para istri dari korban kekerasan ekstremisme (terorisme). Mereka tak hanya memberikan saya inspirasi namun juga memberikan kita perspektif untuk bisa melihat betapa pada diri mereka tersimpan kasih sayang perempuan serta kekuatan yang luar biasa sebagai penggerak perdamaian. Perspektif korban dapat menjadi lensa baru dalam mencintai ibu, menyayangi kehidupan, dan membangun perdamaian.
Hayati Eka Laksmi
Sebut saja perjumpaan saya dengan Hayati Eka Laksmi (Eka), sosok Ibu dua anak yang harus berjuang menjadi single parent lantaran suaminya menjadi korban ledakan Bom Bali tahun 2002. Kita tahu bahwa Bom Bali adalah salah satu bencana sosial terbesar akibat dari terorisme.
Kehilangan tidak pernah menjadi hal yang mudah. Eka tentu harus melawan kesedihan dan keterpurukan agar bisa terus mendampingi anak-anaknya. Di depan anaknya, Eka tak pernah menunjukkan kesedihan dan amarahnya yang sempat meledak-ledak. Eka ingin menumbuhkan jiwa tangguh dan pemaaf kepada anak-anaknya. Eka mencoba selalu menyisipkan jiwa damai di hati anak-anaknya.
Eka mengaku telah berdamai dengan dirinya sendiri dan melapangkan hati untuk memaafkan pelaku. Eka ingin menjadi duta damai agar tidak lagi ada orang yang bernasib sama dengan dirinya. “Saya katakan, untuk apa membalas dendam, untuk apa membalas kekerasan dengan kekerasan. Saya ajarkan itu kepada anak-anak saya selama 17 tahun,” ungkap Eka saat menghadiri salah satu kegiatan AIDA.
Anak-anak Eka tumbuh dengan cinta dan kasih sayang meskipun sang ayah telah tiada. Anak pertama Eka juga sempat dipertemukan dengan anak Amrozi, pelaku Bom Bali yang telah menewaskan ayahnya. Rupanya mereka berdua justru bisa berdamai dan tidak saling mendendam. Peran Eka dalam mendidik anaknya untuk bisa memaafkan tentulah sangat besar.
Kini, Eka bukan hanya menanamkan jiwa damai di hati anak-anaknya, tetapi juga gencar melakukan kampanye perdamaian di berbagai daerah di Indonesia. Eka memiliki cita-cita agar tidak ada lagi korban dan penderitaan. Eka mencoba menebarkan kisah tangguh dan jiwa damainya ke seluruh pelosok negeri. Eka adalah salah satu bukti bahwa perempuan memiliki peran penting dalam upaya menciptakan perdamaian.
Yuni Arsih
Kisah lain juga datang dari Yuni Arsih, istri Suryadi korban Bom Kuningan tahun 2004. Suryadi yang bekerja sebagai tukang kebun di kantor Kedubes Australia meninggal di tempat kejadian. Ia meninggalkan Yuni Arsih dan Febri Renaldi, putranya yang masih berusia 5 tahun.
Kehidupan Yuni, sapaan akrab Yuni Arsih, berubah drastis setelah 9 September 2004. Sebelumnya ia menjalankan peran sebagai pengurus rumah tangga, sementara Suryadi yang bekerja memenuhi nafkah keluarga. Namun musibah tersebut menuntutnya menjalankan kedua peran secara bersamaan.
Problem lain yang dihadapinya adalah perubahan mental anaknya. Saat sang ayah masih hidup, Febri adalah pribadi yang santun, penurut, dan cukup pintar. Namun sekitar seminggu setelah kepergian ayahnya, muncul perubahan. Selain mudah marah, Febri malas berangkat ke sekolah. Padahal di sekolah ia dikenal pintar karena sudah bisa membaca dan menulis di usianya yang masih dini.
Namun Yuni tak kenal lelah memberikan semangat dan motivasi. Ia selalu menekankan kepada anaknya bahwa berputus asa hanya akan berdampak negatif bagi masa depannya. Beberapa kali ketika masih kecil dan ditanya tentang cita-cita, Febri sering menyatakan bercita-cita menjadi polisi agar bisa membunuh teroris. Dengan telaten, Yuni mencoba menekankan bahwa balas dendam tidak akan membawa kebaikan. Berkat jerih payah Yuni, Febri kini tumbuh menjadi pribadi mandiri yang penuh kasih. Saat ini ia sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta sambil berwirausaha demi membantu ibunya.
Ni Luh Erniati
Tak berbeda dengan Eka dan Yuni, Erni, sapaan akrab Ni Luh Erniati juga harus mengalami pahitnya perjuangan seorang ibu tunggal. Ia menyandang status tersebut di usia yang masih cukup muda dengan dua anak yang masih sangat belia. Hal yang sama sekali tak pernah terbersit dalam pikiran Erni: suaminya, Gede Badrawan, menjadi korban Bom Bali pada 12 Oktober 2002 silam.
Beragam masalah yang mendera hampir saja membuat Erni putus asa. Beruntung Erni memiliki seorang teman yang terus memberinya semangat hidup, “Erni, kamu jangan mati sebelum kamu benar-benar mati.” Pesan itu menguatkan langkah Erni. Tatkala motivasinya mulai goyah, Erni mengucapkan pesan tersebut. Ia menyadari betul bahwa anak-anak sangat membutuhkan kehadirannya sebagai ibu sekaligus ‘bapak’.
Erni terus mencoba untuk bangkit. Ia tak ingin berlama-lama dalam keterpurukan. Seiring berjalannya waktu, Erni mulai bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Erni juga mengajak beberapa orang istri korban Bom Bali 2002 untuk merintis usaha agar kehidupan tetap berlanjut. Dari situlah semangat mulai muncul. Erni tak hanya bangkit untuk dirinya sendiri melainkan juga membangkitkan orang lain.
Dalam salah satu kesempatan berkisah tentang perjalanannya menjadi single parent akibat aksi kekerasan terorisme, Erni mengatakan, “Karena tragedi kemanusiaan tahun 2002, saya kehilangan satu cinta sejati. Tapi saat ini saya berdiri di hadapan adik-adik sekalian, dengan harapan akan tumbuh seribu cinta di antara kita semua.” Erni ingin terus menebarkan cinta kasih demi perdamaian Indonesia.
Kisah dan narasi korban terorisme di atas pada akhirnya dapat menjadi kerangka pemikiran atau perspektif korban yang menunjukan kepada kita betapa para perempuan, khususnya para ibu, dapat menjadi sumber moralitas dan nilai-nilai dalam membangun masyarakat yang makin beradab tanpa kekerasan.
Perempuan penggerak perdamaian
21 tahun silam Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1325 mengenai Women, Peace, and Security disahkan. Resolusi itu menekankan pentingnya memberi perempuan partisipasi yang sama dan keterlibatan penuh dalam semua upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan perdamaian dan keamanan serta perlunya meningkatkan peran mereka dalam pembuatan keputusan mengenai pencegahan dan resolusi konflik (Strickland and Duvvury, 2003. Gender Equity and Peacebuilding, From Rhetoric to Reality: Finding the Way, hal.11). Sayangnya, hingga 21 tahun berlalu pelibatan perempuan sebagai penggerak perdamaian masih minim.
Meski demikian, Indonesia patut berbangga sebab komitmen Indonesia terhadap pelibatan perempuan dalam proses penyelesaian konflik menunjukkan progres menggembirakan. Indonesia memiliki RAN P3AKS (Rencana Aksi Nasional Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial). Indonesia juga tercatat sebagai penyumbang women peacekeepers atau agen penjaga perdamaian perempuan terbesar ke-7 di dunia dan pertama di Asia Tenggara.
Pelibatan perempuan dalam isu perdamaian adalah hal yang vital. Secara psikologis, perempuan sebagai ibu memiliki jiwa pengasuh dan pencipta perdamaian alamiah sepanjang sejarah peradaban manusia. Peran ini secara tidak langsung memberikan kepekaan perempuan untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk kekerasan sehingga mereka dapat menawarkan alternatif model perilaku yang tepat untuk menangkal berbagai bentuk kekerasan.
Eka, Yuni dan Erniati serta korban terorisme lainnya mampu mengidentifikasi potensi-potensi kekerasan yang akan terjadi dan memberikan kasih sayang mereka agar anak-anaknya tidak terjebak dalam amarah, kebencian, dan dendam yang dapat mengantarkan mereka kepada mata rantai kekerasan.
Selama ini satu hal yang mungkin jarang dibicarakan dalam setiap proses pembangunan perdamaian adalah keberadaan dan peran perempuan dalam memelihara dan menjaga perdamaian. Masalah perdamaian dan segala upaya untuk mewujudkannya dianggap sebagai bagian dari pekerjaan laki-laki. Sehingga peran perempuan dalam hal ini dianggap menjadi kurang signifikan. Perempuan lebih sering diletakkan sebagai korban daripada sebagai pemberi solusi untuk menciptakan situasi damai.
Dalam sejumlah kasus kekerasan, perempuan adalah korban. Namun kepekaan yang mereka miliki sebagai korban konflik maupun kekerasan justru menyebabkan perempuan memiliki dorongan yang lebih kuat untuk menciptakan perdamaian (peacemaking) dan membangun perdamaian (peace building) yang transformatif. Perempuan lebih sensitif dalam menilai potensi dominasi untuk ‘menyisipkan’ misi-misi perdamaian karena jiwa kasih sayang yang dimilikinya. Para perempuan penyintas terorisme memiliki kepekaan dan dorongan yang berlipat ganda akan pentingnya perdamaian.
Perempuan sumber kasih sayang
Perempuan sebagai sumber kasih sayang sering dilekatkan dengan simbol ‘rahim’ yang mereka miliki. Rahim secara etimologis dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai kantung peranakan untuk membawa janin bayi. Rahim berasal dari bahasa Arab, yaitu akar kata kerja rahima yang memiliki makna mengasihi, memahami, menyayangi, mencintai, menghargai, menghormati. Rahim sebagai kata kerja dengan i pendek memiliki makna menyayangi, dan rahiim dengan i panjang bermakna penyayang. Salah satu sifat Tuhan pun rahman dan rahiim: Mahapengasih dan Mahapenyayang atas semua ciptaan-Nya.
Rahim kini menjadi sebuah paradigma dan tumbuh dalam percakapan masyarakat yang mengandung bangunan dan lanskap kasih, kebaikan yang disandingkan dengan rahman sebagai sayang. Rahim bukan hanya ‘kata benda’ namun menjelma menjadi ‘kata kerja’. Oleh sebab itu perempuan dengan rahimnya menjadi sebuah simbol kuat dari mana sumber kasih sayang berasal.
Melansir jurnal Communication Monographs, perempuan nyatanya memiliki gen kasih sayang lebih banyak dan kuat daripada laki-laki. Tingkat kasih sayang perempuan lebih mudah muncul secara alami bahkan jika mereka tumbuh di lingkungan yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Kory Floyd dari University of Arizona juga menemukan bahwa secara gen, perempuan memiliki kecenderungan lebih penyayang daripada laki-laki. Kasih sayang inilah yang kemudian diyakini sebagai naluri seorang ibu. Jiwa kasih dan sayang itu bisa berkontribusi aktif dalam menciptakan perdamaian. Rasanya tidak berlebihan jika perempuan bisa disebut sebagai kunci dari perdamaian suatu bangsa.
Maka bagi saya, Eka, Yuni, dan Erni bukan hanya seorang Ibu yang luar biasa untuk anak-anaknya. Mereka adalah “perspektif korban” bahwa perempuan dengan segala kelembutan dan ketangguhannya mampu menahan rasa sakit, menghalau kebencian, dan menebar kasih sayang. Mereka tak hanya menitipkan cinta dan kasih kepada anaknya, tapi mereka juga menyisipkan jiwa damai untuk kita semua. Perempuan nyatanya adalah sumber dari segala bentuk perdamaian.
Selamat Hari Ibu.