Tim Perdamaian AIDA, Ali Fauzi
Home Opini Nilai Kepahlawanan dalam Rekonsiliasi Korban dan Mantan Pelaku
Opini - 14/11/2018

Nilai Kepahlawanan dalam Rekonsiliasi Korban dan Mantan Pelaku

Oleh: Muhammad Saiful Haq, mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta

“Mereka (para penyintas) adalah pahlawan-pahlawan saya.”

Ali Fauzi, seorang mantan pelaku terorisme, mengatakan itu dalam sebuah kegiatan yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Jakarta (24/1/2018).

Dia mengaku pertemuannya dengan korban-korban terorisme membantunya untuk menyadari kekeliruan ideologi yang dia yakini sebelumnya. Saat pertama kali bertemu korban dia mengaku larut dalam kesedihan, tak mampu membayangkan betapa besar penderitaan akibat ledakan bom. Penyesalan pun muncul dalam diri Ali Fauzi. Mewakili saudara dan kawan-kawannya yang pernah terjerumus ke dunia kekerasan, ia telah memohon maaf kepada korban.

Tim Perdamaian AIDA, Ali Fauzi
Tim Perdamaian AIDA, Ali Fauzi

 

Secara perlahan perubahan cara pandang mendorongnya untuk hijrah dari jalan kekerasan menuju kedamaian. Bukannya saling mendendam, di antara korban dan mantan pelaku terorisme justru terbentuk rekonsiliasi. Bersama AIDA, kini korban dan mantan pelaku sering berduet mengampanyekan perdamaian kepada masyarakat luas. Dari itu pria asal Lamongan ini menyebut korban terorisme adalah pahlawan baginya.

Dalam kehidupan selalu ada pahlawan pada masanya, yaitu orang yang berani berkorban membela sesuatu yang diyakini berharga bagi bangsanya. Bila di masa lalu pahlawan adalah yang berjuang di medan pertempuran mengusir penjajah, dalam konteks kekinian nilai-nilai kepahlawanan dapat diserap dari persatuan antara korban dan mantan pelaku terorisme.

Satu sisi korban dan mantan pelaku seakan terlihat saling berseberangan. Namun, di sisi lain rekonsiliasi kedua pihak mencerminkan semangat dan keberanian untuk memulai dialog, menghilangkan kecurigaan dan kebencian, menghindari penggunaan kekerasan, serta meneguhkan komitmen untuk bersama-sama membangun perdamaian.

Karakter tangguh jelas terlihat dalam diri kedua pihak. Korban mampu melampaui penderitaan akibat terorisme untuk bangkit berdaya menjadi seorang penyintas (survivor). Sikap mantan pelaku mengajarkan kejujuran yang luhur. Dia menyadari kekeliruan masa lalunya kemudian mau mengakui kesalahan itu, serta mampu mengupayakan perbaikan-perbaikan. Semangat bina damai yang ditunjukkan korban dan mantan pelaku menyiratkan pesan-pesan positif yang menjadi esensi kehidupan berkemajuan.

Dari penyintas, kita dapat meneladani bahwa keburukan yang ditimpakan manusia tidak semestinya dibalas dengan tindakan serupa. Penyintas bom mencontohkan, penderitaan yang diciptakan pelaku teror justru dibalas dengan memberikan cinta. Hasilnya, mantan pelaku bisa meninggalkan dunia kekerasan dan kini berjuang di jalan kedamaian.

Menurut sebuah riwayat hadis, cinta kepada sesama sangat terkait dengan keimanan. Sabda Rasulullah Saw.: “Tidaklah beriman seseorang dari kalian, sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari dan Muslim). Saudara dalam hadis tersebut dapat dipahami secara luas, tidak hanya sesama muslim, tetapi sesama bangsa Indonesia, atau sesama umat manusia.

Mencintai sesama artinya menebar kedamaian dalam kehidupan ini. Menciptakan perdamaian dan terus melestarikannya berarti memberikan manfaat bagi orang banyak. Berupaya sekuat tenaga dengan mengorbankan segala sumber daya untuk memberikan kemanfaatan bagi sebanyak-banyaknya manusia oleh sebab itu merupakan karakter kepahlawanan yang kontekstual dengan masa kini.

“Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama” (HR. Ahmad, Al-Tabrani, Al-Daruqutni.). Sabda Rasulullah di atas sekaligus menegaskan firman Allah dalam Al-Quran.

“Bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Al-Baqarah: 148).

Dalam konteks saat ini, selaras dengan semangat Hari Pahlawan pada 10 November setiap tahunnya, kita dapat memaknai ayat tersebut dengan berlomba-lomba memberikan manfaat bagi khalayak umum, termasuk menyebarkan perdamaian di kehidupan bermasyarakat.

Keteladanan nilai kepahlawanan dalam Islam juga dapat dipandang dari figur Rasulullah yang mengutamakan jalan kedamaian dalam mengajak manusia kepada kebenaran.

Mari kita perkuat semangat kepahlawanan dalam diri kita dengan memberikan kebaikan kepada sebanyak-banyaknya orang.