Mantan Pelaku Terorisme Ali Fauzi
Home Inspirasi Suara Mantan Pelaku “Setiap Orang Punya Kesempatan Sama untuk Menjadi Lebih Baik”
Suara Mantan Pelaku - 12/03/2019

“Setiap Orang Punya Kesempatan Sama untuk Menjadi Lebih Baik”

ALIANSI INDONESIA DAMAI – “Mohon maaf sebesar-besarnya kepada masyarakat Indonesia. Beberapa tahun yang lalu saya dan kakak saya pernah terlibat dalam tindak pidana terorisme. Khususnya kepada Mbak Erni, juga Mbak Nanda, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya,” ujar Ali Fauzi dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Jakarta 1 November 2018. Dua orang yang ia sebut, Ni Luh Erniati dan Nanda Olivia Daniel, adalah penyintas aksi terorisme di masa lalu.

Pria asal Lamongan, Jawa Timur itu -serta sejumlah saudara dan rekannya- pernah tergabung dengan kelompok Jemaah Islamiyah (JI) yang berafiliasi dengan jaringan terorisme internasional Alqaeda. Dua orang kakaknya telah dijatuhi hukuman mati, sementara seorang lagi divonis penjara seumur hidup atas keterlibatan mereka dalam aksi teror Bom Bali pada 12 Oktober 2002. Bertahun-tahun melanglang buana di dunia terorisme dan kekerasan, kini Ali Fauzi meniti jalan perdamaian.

Ali mengatakan bahwa tujuannya berbagi kisah masa lalunya adalah agar semakin banyak masyarakat yang menyadari pentingnya menjaga kedamaian. Ia juga menekankan agar tidak ada lagi spekulasi yang menyatakan terorisme hanyalah rekayasa atau upaya pengalihan isu pemerintah, atau merupakan bagian dari konspirasi global. Menurutnya, kelompok teroris benar-benar nyata dan mereka ingin menggulingkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menggantinya menjadi negara yang berdasarkan ideologi yang mereka kehendaki.

Selama bertahun-tahun sejak 1991 kehidupan Ali Fauzi muda sudah terpapar paham ekstremisme. Ia tinggal dengan orang-orang pelarian atau yang bermasalah dengan hukum serta mengikuti pendidikan paramiliter yang dirancang oleh kelompok teroris di luar negeri. Di tempat-tempat berbeda itu ia menggunakan nama samaran agar tidak mudah tertangkap oleh aparat keamanan. Baginya pada waktu itu, aparat sebagai alat keamanan negara baik di Indonesia maupun luar negeri adalah thaghut (musuh Tuhan) yang halal darahnya untuk dibunuh.

Setelah cukup lama bergelut dengan kelompok ekstremis di Filipina dengan aman, sepak terjangnya di dunia terorisme akhirnya terendus oleh aparat keamanan. Dia ditangkap lalu ditahan di penjara oleh pemerintah Filipina. “Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga,” ujarnya.

Ali mengaku, selama ditahan ia mendapatkan perlakuan yang kasar dari aparat Filipina. Setelah beberapa waktu ia kemudian dideportasi ke Indonesia dalam kondisi sakit. Ia mengaku beberapa ruas tulang rusuknya patah karena penyiksaan selama masa tahanan.

Setibanya di Tanah Air, pihak kepolisian Repubik Indonesia langsung berinisiatif untuk membinanya. Ia dirawat hingga proses penyembuhan di rumah sakit Bhayangkara di Jakarta dan Surabaya. Ali mengaku tersentuh hatinya atas perlakuan polisi terhadapnya. Sosok polisi yang semula ia anggap sebagai musuh, justru menolong dan menjenguknya setiap hari, serta memperhatikan kesembuhannya. Sejak saat itu pandangannya mulai berubah secara perlahan.

Keyakinannya untuk meninggalkan ideologi kekerasan semakin mantap setelah dipertemukan dengan para korban terorisme. Korban-korban yang ditemuinya ada yang mengalami cacat permanen akibat serangan teror bom. Sebagian yang lain menjadi janda atau duda karena kehilangan pasangan akibat aksi teror. Ali pun menyesali kekeliruannya di masa lalu. Ia bertobat dan memilih hijrah dari jalan kekerasan menuju jalan perdamaian.

Pada tahun 2014, Ali bergabung dengan Aliansi Indonesia Damai (AIDA). Bersama AIDA Ali semakin sering bertemu para korban bom, baik yang ditinggal meninggal oleh keluarganya maupun yang mengalami cacat fisik parah. Bukannya merasa dendam terhadap pelaku, namun para korban justru memberikan semangat kepada Ali untuk berjuang bersama mereka dalam mengampanyekan perdamaian. Alasan inilah yang makin meneguhkan tekad Ali untuk mengampanyekan perdamaian di Indonesia.

Tidak hanya itu, semangatnya dalam membumikan perdamaian terus terpatri dalam hati, jiwa dan sanubarinya. Pada tahun 2016, semangat itu Ali wujudkan dengan membangun komunitas Lingkar Perdamaian di Lamongan, sebuah wadah khusus untuk orang-orang yang pernah menganut ideologi kekerasan. Melalui lembaga ini Ali memberdayakan orang-orang yang pernah terlibat dalam jaringan ekstrem untuk kembali ke jalan perdamaian.  

Menurut pria yang mengaku lebih mahir merakit bom daripada membuat layang-layang ini, terorisme merupakan sebuah penyakit yang sudah mengalami komplikasi. Dalam hal ini, ia bukanlah seorang dokter spesialis, namun ia pernah terjangkit penyakit itu namun berhasil sembuh dan kini berharap bisa menyembuhkan orang-orang yang memiliki gejala penyakit serupa.

Selain sebagai aktivis perdamaian, Ali Fauzi kini juga menjadi dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Lamongan. Ia juga tengah melanjutkan pendidikan S3 di Universitas Muhamadiyah Malang. Ali yang dahulu pernah terlibat kekerasan selama 13 tahun dan selalu menggenggam senjata api, kini beralih memegang pulpen setiap hari. Menurutnya, tidak ada orang baik yang tidak mempunyai masa lalu dan  tidak ada orang jahat yang tidak mempunyai masa depan. “Setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk berubah menjadi lebih baik,” pungkasnya. [SWD]