Budaya Dialog dan Perdamaian
Oleh: Ahmad Hifni, Alumni Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Dalam sejarahnya, Nabi Muhammad Saw. mengedepankan dialog untuk menemukan jalan tengah yang disepakati (kalimatun sawa) sekaligus meredam pertikaian warga masyarakat yang berselisih. Praktik dialog yang beliau lakukan menunjukkan bahwa upaya-upaya untuk memecahkan masalah dengan jalan damai tanpa kekerasan menempati posisi penting dalam Islam. Singkatnya, dalam hemat penulis, terwujudnya perdamaian mensyaratkan adanya dialog yang menjadi habitus masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Selain peristiwa Piagam Madinah di mana Nabi Saw. membuat perjanjian dengan seluruh elemen masyarakat Madinah yang majemuk untuk hidup berdampingan dengan damai, serta Fathu Makkah –di mana beliau mengedepankan politik damai dengan menjamin keselamatan seluruh warga termasuk yang memeranginya, padahal umat Islam berkuasa saat itu– sikap dialogis Nabi tampak ketika beliau berdakwah pada masa-masa awal Islam. Melalui kesabaran dan ketekunan, Rasulullah menyampaikan ajaran luhur Islam kepada penduduk Mekah dari hati ke hati. Walaupun kerap kali mendapatkan cemooh dan makian dari sebagian masyarakat, namun beliau konsisten mengedepankan dialog dan akhlak untuk mengajak orang lain pada kebaikan.
Memang, ajakan pada kebaikan dengan menggunakan cara-cara lembut acap kali mendapatkan respons yang relatif merendahkan, atau bahkan berupa kekerasan. Walakin, Nabi memberikan teladan untuk teguh mengedepankan akhlak mulia dalam berdakwah, serta melarang keras para sahabat untuk menyampaikan Islam dengan pendekatan yang tidak lembut. Teladan Nabi untuk tidak menggunakan jalan kekerasan sejatinya mengajarkan umat untuk mentradisikan dialog dalam menemukan solusi atas masalah-masalah yang ada.
Budaya dialog tidak hanya dipraktikkan oleh Nabi Muhammad. Di dalam Alquran, Allah Swt. banyak memberikan contoh betapa budaya dialog harus menjadi pilihan hidup bagi setiap insan. Di antaranya adalah firman Allah Swt. dalam Surat Taha ayat 44.
فَقُوۡلَا لَهٗ قَوۡلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوۡ يَخۡشٰى
Artinya: “Bicaralah (kalian berdua) kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.”
Ayat tersebut mengisahkan bahwa Allah mengutus Nabi Musa As. dan Nabi Harun As. agar berusaha menyadarkan firaun atau penguasa saat itu, yang angkuh mengaku diri sebagai Tuhan. Menariknya, Allah menginstruksikan agar Musa dan Harun mengedepankan akhlak mulia dalam menjalankan misi ‘menyadarkan firaun’ tersebut. Mereka diperintahkan untuk berkomunikasi dengan firaun dengan tutur kata yang lembut dan sopan, bukan kata-kata yang melecehkan harga diri atau kata-kata kasar.
Dalam ayat lain Allah berfirman: “Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih ialah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan perkataan yang menghinakan), mereka mengucapkan kata-kata yang baik” (QS. Al-Furqan: 63). Sifat atau indikator ‘ibad al-rahman (hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) juga dilanjutkan dalam ayat ke-72 dalam surat yang sama: “Dan apabila mereka bertemu (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan tak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan.”
Ayat serupa terkait sifat-sifat mulia pribadi yang baik disebutkan dalam QS. Al-Qasas ayat 55: “Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan berkata: Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu.”
Dari ayat-ayat tersebut dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa pribadi-pribadi baik senantiasa menghadapi penentangan dari pihak-pihak yang ditakdirkan belum mendapatkan petunjuk Tuhan. Namun, dalam menghadapi cobaan semacam itu pribadi yang baik selalu mengedepankan akhlak mulia, dialog yang sehat, dan secara elegan tetap menjaga harga diri.
Dalam konteks sosial, ayat-ayat Alquran serta teladan Nabi yang mentradisikan dialog dan musyawarah dalam rangka memecahkan masalah serta mengajak ke arah kebaikan, sangat penting untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pengalaman Aliansi Indonesia Damai (AIDA) membangun dialog di antara para pihak yang pernah terkait dengan terorisme –baik yang terlibat sebagai pelaku aksi teror, maupun orang-orang yang menjadi korban akibat tindak pidana tersebut– menarik untuk diperbincangkan.
Dari perspektif mantan pelaku terorisme, berdialog dengan korban mengandung muatan penyadaran bahwa paham kekerasan berbalut agama memiliki ekses yang luar biasa merusak, menghancurkan jiwa-jiwa yang tidak tahu menahu dengan isu sentral yang dipersoalkan kelompok teroris. Dari sudut pandang korban aksi teror, dialog dengan mantan pelaku di antaranya dapat dijadikan sebagai ajang tabayun mengapa ada kelompok yang begitu tega menghilangkan kedamaian sekaligus memunculkan keburukan.
Dalam dialog antara korban dengan mantan pelaku kekerasan terorisme, masing-masing pihak dapat menemukan berbagai irisan dan titik temu bahwa memelihara perdamaian agar tetap lestari di Tanah Air dan bahkan di dunia pada umumnya, menjadi kunci untuk membangun peradaban manusia yang maju. Kesadaran mantan pelaku atas kesalahan masa lalu yang mendorongnya untuk bertobat dan memohon maaf kepada korban, dan sebaliknya, keluasan hati korban untuk memaafkan masa lalu mantan pelaku, adalah keunggulan yang tak ternilai harganya, serta menjadi modal yang besar dalam membangun Indonesia yang lebih damai.
Dalam hemat penulis, persatuan korban dan mantan pelaku seperti yang diupayakan AIDA merupakan wujud kebenaran ajaran agama, bahwa tradisi dialog bisa mengarahkan manusia kepada perdamaian, sebuah cita-cita luhur yang didambakan sebagian besar umat manusia.
Persatuan korban dan mantan pelaku terorisme bisa dijadikan sebagai inspirasi untuk mentradisikan dialog dalam mencari solusi atas berbagai permasalahan masyarakat sehari-hari. Terutama dalam menghadapi perbedaan-perbedaan dalam isu politik, keagamaan, sosial, juga perekonomian, tradisi dialog mesti dikembangkan sehingga segala perbedaan yang ada tidak menjadi sumber konflik. Sebaliknya, seluruh pihak dalam masyarakat bisa saling melengkapi untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut.
Wallahu A’lam
Oleh: Ahmad Hifni