Home Tajuk Refleksi Kurban: Menahan Ego Demi Perdamaian
Tajuk - 12/08/2019

Refleksi Kurban: Menahan Ego Demi Perdamaian

Pengurbanan Ibrahim atas buah hatinya kepada Allah sungguh peristiwa sejarah yang agung. Di dalamnya terdapat pelajaran berharga bagi umat manusia. Peristiwa kurban mengajarkan bagaimana seorang ayah, ibu, dan anak menahan ego sebagai perwujudan ketaatan yang hakiki.

Ibrahim diwahyukan untuk mengorbankan darah dagingnya sendiri. Padahal, kelahiran sang anak dalam rumah tangganya telah dinantikan bertahun-tahun lamanya. Allah menguji keimanan Ibrahim dengan “meminta” yang paling berharga darinya. Bila Ibrahim bukanlah hamba yang bertakwa, layaknya seorang bapak terhadap anak, tentunya tak akan tega menimpakan keburukan, apalagi sampai menghilangkan nyawa. Demikian pula Siti Hajar sebagai ibunda dari anak yang akan dikurbankan. Ismail sendiri sebagai sang anak tentu juga merasakan.

Namun, keluarga Ibrahim sukses menepikan ego dalam diri dan memenuhi perintah Allah dengan tulus, sehingga dari itu Sang Khalik memberikan ganjaran yang besar sebagaimana diabadikan dalam QS. Al-Saffat 102-107.

Dalam momen yang baik ini sudah selayaknya setiap individu memperbarui semangat ke-kurban-an. Secara kebahasaan, kata kurban bermakna sesuatu yang dekat. Pada Hari Raya Idul Kurban, setiap orang yang mampu diwajibkan menyembelih hewan kurban sebagai bentuk peribadatan yang mendekatkan diri kepada Allah. Ketika berkurban, secara lahiriah yang dilakukan adalah mengorbankan sebagian harta untuk kebaikan sosial, namun hakikatnya, aktivitas tersebut dimaksudkan sebagai bentuk pengabdian yang tulus, serta upaya mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung.

Dari syariat kurban, manusia dididik untuk mampu mengalahkan ego serta segala dorongan negatif dalam diri.

Menahan ego bukan perkara mudah, sebab manusia memang dibekali dorongan ke-aku-an dalam dirinya. Sangat manusiawi bila orang ingin memiliki banyak harta, kuasa dan pengaruh yang luas, atau menjadi superior terhadap orang lain.  Namun, agama telah memperingatkan bahwa ketakwaan, dalam arti menahan dorongan keinginan yang berlebihan, jauh lebih baik dan dipandang oleh Allah. Peringatan dalam ayat ke-14 dan ke-15 dari QS. Ali Imron menyebutkan bahwa, meskipun segala perhiasan dunia -yaitu kecintaan terhadap lawan jenis, keturunan, tunggangan, harta serta kedudukan- sangat menggoda hati, namun manusia disediakan pilihan yang lebih baik oleh Allah.

Pribadi yang berkurban harus mampu menolak ajakan atau peluang untuk korupsi, menindas hak orang lain, menimpakan keburukan kepada liyan, atau kejahatan lainnya macam apa pun.

Aktualisasi kurban yang pada puncaknya adalah menahan ego harus terus diasah setiap insan. Pribadi yang berkurban harus mampu menolak ajakan atau peluang untuk korupsi, menindas hak orang lain, menimpakan keburukan kepada liyan, atau kejahatan lainnya macam apa pun. Jiwa yang berkurban mesti kuat menghindari cara-cara culas, licik, serta kekerasan, dalam berupaya meraih cita.

Meskipun berat, menahan ego bukan sesuatu yang tak mungkin diusahakan. Salah satu inspirasi yang bisa diserap dalam menahan ego adalah kisah penyintas terorisme. Tidak semua korban aksi teror lantas terpuruk karena luka dan penderitaan yang dialami. Sebagian penyintas tegar dan ikhlas menjalani hidup dengan menanggung beban berat pascatragedi. Mereka menerima segala yang terjadi sebagai bagian dari takdir Allah, meskipun kondisi fisiknya berubah menjadi cacat, atau orang terkasihnya tiada sebagai dampak dari aksi terorisme.

Lebih dari itu, sebagian penyintas bahkan mampu memaafkan serta menjalin rekonsiliasi dengan mantan pelaku terorisme. Alih-alih membalas dendam, penyintas justru meredam kebencian serta mendukung mantan pelaku untuk semakin menjauh dari dunia terorisme. Para penyintas yang telah berekonsiliasi dengan mantan pelaku kemudian berkontribusi untuk mengampanyekan perdamaian di masyarakat.

Mereka berbagi kisah dan pengalaman hidup, dengan harapan publik dapat menimba pembelajaran agar di masa depan tidak terjadi lagi aksi kekerasan. Berbagi kisah bagi sebagian korban bukan perkara mudah, sebab hal itu ibarat membuka luka lama serta mengingat-ingat kesedihan. Upaya para penyintas untuk berbagi kisah demi terjaganya kedamaian oleh sebab itu harus terus didukung.

Kisah penyintas adalah inspirasi ketangguhan. Mereka tak hanya mampu bertahan dari cobaan hidup, namun juga bangkit dari kondisi tak menyenangkan. Dari ketangguhan mereka kemaslahatan sosial dapat terbangun.

Baca juga Belajar dari Nabi, Memupuk Semangat Perdamaian

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *