Kembali ke Fitrah Perdamaian
Oleh: Hasibullah Satrawi
Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat politik Timur Tengah dan Dunia Islam
Perang atau aksi kekerasan bukanlah fitrah manusia. Fitrah manusia adalah perdamaian dan kerukunan. Idul Fitri sejatinya dijadikan untuk mengukuhkan sekaligus mempermanenkan perdamaian.
Secara kebahasaan, ’idul fitri merupakan bahasa Arab yang bisa bermakna hari raya Fitri atau lebih sering diterjamahkan dengan istilah hari raya Idul Fitri. ’Idun dalam bahasa Arab bermakna hari raya atau perayaan, bisa juga bermakna kembali. Sementara fitri bermakna fitrah, bisa juga bermakna makan (tidak puasa). Dengan demikian, Idul Fitri mengandung dimensi kembali ke fitrah dan tidak hanya sekadar makan-makan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fitrah memiliki arti sifat asal, kesucian, bakat, dan pembawaan. Kembali ke fitrah berarti kembali pada sifat asal, kesucian, bakat, dan pembawaan manusia yang berlaku universal. Dalam hadis yang sangat terkenal, Baginda Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa setiap manusia terlahir dalam keadaan fitrah (kullu mauludin yuladu ’alal fithrati). Mungkin karena faktor ini, perayaan Idul Fitri yang berkembang di Indonesia sarat dengan budaya saling mengunjungi serta saling bermaaf-maafan yang dikenal dengan istilah halalbihalal.
Baca juga Hikmah Puasa bagi Perdamaian
Secara harfiah, halal bihalal merupakan bahasa Arab yang berarti halal dengan halal. Tetapi secara konteks sosial dan kebudayaan, makna dari istilah ini melampaui makna harfiahnya. Bahkan, di kalangan negara Arab sendiri, istilah ini tidak familiar. Istilah ini digunakan oleh para tokoh Muslim di Indonesia sebagai upaya untuk bermaaf-maafan menghapus noda-noda kehidupan sekaligus mengembalikan watak dan sifat dasar manusia pada fitrahnya yang bersih nan suci.
Oleh karena itu, pada tahap tertentu, perayaan Idul Fitri dengan dimensi kembali ke fitrah sebagaimana di atas dapat disebut cermin khas dari praktik keislaman yang berkembang di Indonesia, minimal apabila dibandingkan dengan praktik keislaman yang berkembang di banyak negara di Timur Tengah terkait dengan Idul Fitri. Disebut demikian, minimal menurut pengalaman penulis, karena perayaan Idul Fitri yang berkembang di Timur Tengah tidak semeriah perayaan Idul Adha atau Lebaran Kurban. Hal ini berbanding terbalik dengan yang terjadi di Indonesia. Di mana perayaan Idul Fitri jauh lebih meriah dibandingkan dengan perayaan Idul Adha atau Kurban.
Puncak puasa, awal kehidupan
Idul Fitri atau kembali ke fitrah adalah puncak ibadah puasa. ibarat mendaki gunung, seseorang harus melalui pelbagai macam tantangan dan rintangan sebelum sampai ke puncak gunung. Tantangan dan rintangan yang ada dimulai dari menahan diri (al-imsak) dari hal-hal yang tidak perlu walaupun mungkin hal tersebut merupakan kebutuhan asasi seperti makanan, minuman, dan yang lainnya.
Baca juga Puasa: Meraih Hidup Bermakna
Selain terbiasa dengan menahan diri, orang yang berpuasa juga harus memiliki pertahanan dan ketahanan diri yang memadai untuk mencapai puncak spiritual. Inilah tahapan berikutnya dari pendaki gunung puasa untuk mencapai puncak spiritual Idul Fitri. Semakin tinggi pendakian yang dilakukan, maka akan semakin banyak kondisi ekstrem yang dijumpai. Tanpa pertahanan dan ketahanan diri yang memadami hampir mustahil seseorang bisa mencapai puncak. Kurang lebih inilah gambaran kenapa puasa disebut dengan istilah perisai (as-shiyamu junnatun) yang berfungsi sebagai pertahanan sekaligus ketahanan diri dari ekstremnya hidup.
Di luar yang telah disampaikan, orang yang berpuasa harus melatih jiwanya agar menjadi lapang dan luas sebelum akhirnya benar-benar mencapai puncak fitrah yang bersih dan suci itu. Karena itu, orang yang berpuasa dilarang untuk membalas hal-hal negatif, termasuk perlakuan tidak baik dari orang lain, baik dalam bentuk omongan (seperti dicaci maki/sabbahu) atau dalam bentuk aksi kekerasan (seperti dipukuli/qatalahu). Apabila mengalami hal-hal seperti di atas, orang yang berpuasa dibimbing untuk meneguhkan dirinya sebagai orang yang sedang berpuasa (inniy imru’un shaimun), alih-alih membalasnya.
Baca juga Membaca Pikiran Teroris
Dengan melalui penempaan-penempaan sebagaimana di atas, orang yang berpuasa sesungguhnya telah menyiapkan diri untuk menggapai puncak spiritual dan kembali ke fitrahnya. Itulah Idul Fitri. Titik kembali suci. Titik kembali murni.
Seseorang sangat penting untuk mencapai puncak tertinggi pendakian sekaligus menggapai titik fitrahnya kembali karena hidup adalah sirkulasi menuju suci kembali. Dengan mengambil pembelajaran dari kisah Nabi Adam, Jamal Al-Banna memperkenalkan konsep al-baro’ah al-ashliyah atau kesucian otentik (Nahwa Fiqhih Jadid, 1995: 11). Sebagaimana dimaklumi, Nabi Adam pada awalnya suci (di Surga). Kemudian Nabi Adam tergelincir ke dalam dosa sebelum akhirnya kembali suci (masuk Surga). Konsep ini menitikberatkan pada kesucian awal dan akhir dari Nabi Adam walaupun Nabi Adam pernah melakukan dosa.
Baca juga Ramadhan Bulan Membaca
Di sini dapat ditegaskan, hidup tak lain keberlanjutan walaupun acap naik dan turun (al-imanu yazidu wa yanqush). Tidak ada lain setelah kesedihan kecuali kegembiraan. Pun demikian, tidak ada lain setelah kegembiraan kecuali kesedihan.
Idul Fitri adalah puncak puasa yang suci, tetapi Idul Fitri sekaligus awal kehidupan penuh noda di sana-sini. Puncak gunung adalah titik tertinggi, tetapi sekaligus awal menurun menuju lembah kehidupan fana. Nilai-nilai puasa yang memungkas pada Idul Fitri adalah pegangan kuat untuk bertahan dari badai-badai cobaan hidup. Nilai-nilai puasa yang memuncak pada Idul Fitri adalah perspektif yang bisa digunakan untuk tetap melihat titik putih kehidupan dari gelapnya ambisi yang tak jarang penuh anarki.
Fitrah perdamaian
Pada tahun 2024, bangsa ini akan menghadapi hajatan akbar demokrasi dalam bentuk pemilihan umum. Walaupun terhitung masih tiga tahun lagi, tetapi dampak dari strategi atau uji coba politik tertentu sudah mulai terasa dalam kehidupan masyarakat (seperti terlihat dari isu penundaan pemilu). Terlebih lagi kondisi sosial politik dan ekonomi masyarakat belakangan tidak bisa dikatakan baik-baik saja, terlepas apakah semua ini akibat dari pandemi ataupun akibat kebijakan yang diambil pemerintah.
Baca juga Puasa sebagai Emansipasi
Semua ini penting dijadikan sebagai sebuah kesadaran sekaligus kewaspadaan oleh kita semua agar tidak terpancing dengan hal-hal yang bersifat aksi kekerasan. Terlebih lagi beberapa perkembangan politik di tingkat regional dan global sangat tidak menggembirakan, seperti krisis politik di Myanmar dan perang terbuka antara Rusia dengan Ukraina.
Kenapa semua ini penting diwaspadai bersama? Tak lain karena sampai hari ini masih ada kelompok-kelompok di Indonesia yang berkeyakinan bahwa kekerasan bisa dijadikan sebagai jalan perjuangan, termasuk dalam situasi sekarang. Minimal hal ini bisa dibuktikan dengan temuan kepolisian mutakhir terkait jaringan NII di Sumatera Barat yang ingin melengserkan pemerintah sebelum Pemilu 2024.
Secara lebih luas, hingga hari ini masih ada kelompok-kelompok yang belum menerima Indonesia sebagai negara Pancasila. Kelompok ini cenderung menjadi ”oposisi permanen” yang secara keorganisasian dan kepemimpinan bisa bergonta-ganti setiap saat. Yang tak kalah penting, kelompok seperti ini tak jarang menggunakan ayat-ayat suci untuk membenarkan aksi-aksinya dalam melawan Indonesia sebagai negara Pancasila, termasuk dalam melakukan aksi-aksi kekerasan.
Baca juga Puasa, Mosaik Spiritualitas Luhur
Di sinilah pentingnya menjadikan nilai-nilai puasa yang memuncak pada Idul Fitri sebagai pegangan perjuangan. Semua pihak (khususnya para elite) harus terlatih untuk menahan diri, terutama ketika perjuangan yang dilakukan berpotensi menimbulkan aksi kekerasan. Karena apa pun alasannya, perdamaian dan kerukunan adalah fitrah yang harus senantiasa dijaga oleh umat manusia. Kalaupun ada ajaran atau norma terkait perang ataupun hal-hal yang bersifat kekerasan, maka hal itu bersifat sementara, darurat, dan diatur dengan ketat.
Dalam Al Quran perang disebut dengan istilah kurhun yang berarti mengerikan dan cenderung tak disukai kecuali karena keterpaksaan (Qs Al-Baqarah: 216). Bahkan, perang dalam Islam memiliki sejumlah syarat yang sangat ketat, seperti tidak merusak fasilitas umum dan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa perang atau aksi kekerasan bukanlah fitrah manusia. Sebaliknya, fitrah manusia adalah perdamaian dan kerukunan.
Baca juga Pembangunan dan Perdamaian
Dalam doa yang sering dibaca umat Islam setelah shalat, Allah SWT digambarkan sebagai perdamaian (Allahumma antas salam). Bahkan, Allah juga digambarkan sebagai ”sumber” perdamaian, sebagaimana Allah juga menjadi muara dari perdamaian (waminkas salam, wailayka ya’udus salam). Maka, hidupkanlah kami dalam damai (fahayyina robbana bis salam).
Oleh karena itu, Idul Fitri sejatinya dijadikan sebagai momentum oleh semua pihak untuk mengukuhkan sekaligus mempermanenkan perdamaian. Silaturahmi kebangsaan dan halalbihalal harus dilakukan secara masif, tidak hanya di kalangan kaum elite yang sudah menerima NKRI, tetapi juga melibatkan para pihak yang belum menerima Pancasila dan NKRI. Hingga persatuan Indonesia tetap terjaga dan perdamaian senantiasa terpelihara dengan baik.
Baca juga Perjalanan Moralitas yang Terseok