19/05/2021

Massiara’: Tradisi Bugis Menjaga Damai

Massiara’ merupakan tradisi warga Bugis berkunjung ke rumah keluarga dan handai tolan di hari raya. Biasanya saat massiara’, tamu akan dijamu makan bersama oleh tuan rumah. Setiap rumah seolah wajib mappanre’ (memberi makan) kepada para tamu yang datang.

Dulu penulis memaknai massiara’ bukan hanya merajut silaturahmi dan bermaafan di hari raya, namun juga momentum menghilangkan lapar minimal sehari dalam setahun. Itu karena tiap rumah terbuka untuk saling mengunjungi dan tiap bertamu dijamu dengan makanan khas hari raya. Biasanya disambut burasa (makanan khas Bugis-Makassar), olahan ayam/daging dan kue kering.

Baca juga Berdamai dengan Ketidaksukaan

Namun kini, penulis memahami bahwa massiara’ sebetulnya bukan hanya persoalan makan dan berkunjung. Tradisi yang dilakukan saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha ini merupakan upaya menyambung kekeluargaan serta tata pergaulan dengan tetangga. Bukan tidak mungkin selama bertetangga kita jarang bertegur sapa karena kesibukan sehari-hari, sehingga melakukan massiara’ akan merekatkan hubungan yang renggang.

Begitu pun aktivitas makan dalam massiara’. Bukan hanya persoalan menyantap hidangan spesial hari raya, namun memiliki makna tertentu dari sisi psikologi yang teramat dalam. Makan bersama di hari spesial seperti hari raya mendekatkan satu sama lain, bahkan bisa sampai menyebarkan semangat perdamaian.

Baca juga Falsafah Bugis untuk Perdamaian Bangsa

Menurut Alice Julier, sosiolog dari Universitas Massachusetts, Amerika Serikat, aktivitas makan bersama bisa mengubah perspektif terhadap ketidakadilan dan saling menghormati satu sama lain dalam pergaulan sosialnya. Pendapat Alice didukung oleh beberapa riset psikologi, bahwa makan bersama membangun ikatan kedekatan (bonding) antarindividu. Kedekatan yang berjalan positif akan meminimalisasi potensi konflik.

Robin Dunbar dalam risetnya berjudul Breaking Bread: the Functions of Social Eating menemukan bahwa makan merupakan bentuk penting dari interaksi sosial yang positif. Makan bersama orang yang kita kenal dapat memunculkan perasaan yang lebih baik tentang diri sendiri, tingkat kepuasan hidup, dan memiliki jaringan sosial yang kuat.

Baca juga Siri’: Filosofi Perdamaian Bugis-Makassar

Kehadiran interaksi sosial yang positif akan mendorong perilaku damai antarindividu bahkan dalam hubungan bermasyarakat bisa melahirkan budaya kompak dan bergotong royong untuk memelihara lingkungan agar senantiasa aman, tenteram, dan damai.

Massiara’ sarana kembali fitri

Adanya ikatan kedekatan dengan orang lain, secara tidak langsung akan membawa kita membangun interaksi penuh empati, sehingga perlahan bisa saling memahami perasaan dan memulai sikap positif terhadap orang lain. Sejatinya itulah makna kembali menjadi insan yang fitri di hari raya, sebab kita mampu memperbaharui sikap dan memperbaiki perilaku kepada orang lain.

Baca juga Kritik Diri Bekal Pertobatan Ekstremis

Massiara’ mengajarkan kita bahwa orang yang telah kembali suci hatinya setelah melalui tempaan ketakwaan di bulan suci Ramadan adalah orang yang senantiasa merawat tali silaturahmi, mengakui kesalahan, dan meminta maaf lalu memperbaiki kesalahannya. Orang yang kembali suci juga senantiasa menunjukkan raut wajah bahagia kepada sesamanya seperti di hari raya dan juga membahagiakan orang lain.

Sebagai penutup, penulis kira tidak ada salahnya kita mencoba sama-sama mengamalkan tradisi massiara’ di lebaran tahun ini. Meski lewat virtual ataupun pertemuan fisik yang terbatas dengan protokol kesehatan, tidak akan mengurangi pesan cinta kita dalam berhari raya, yakni maaf, kasih sayang, damai, persatuan, penghormatan, dan silaturahmi.

Baca juga Fase-Fase Hijrah; Belajar dari Mantan Ekstremis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *