Berdamai dengan Kekhawatiran
Aliansi Indonesia Damai- Tak butuh waktu lama baginya untuk memberi maaf. Sepekan pascamusibah, Desmonda Paramartha justru memanjatkan doa kepada Tuhan, “Ampunilah mereka sebab mereka tak tahu apa yang mereka perbuat.” Obyek dalam doanya adalah para pelaku Bom Surabaya Mei 2018 yang telah mencederainya.
Mentari pagi di langit Surabaya bersinar terang. Desmonda tidak memiliki firasat apa pun saat menuju Gereja Santa Maria Tak Bercela (GSMTB) Ngagel, Surabaya untuk ibadah Minggu pagi. Tiba di gereja, ia langsung bergabung bersama teman-temannya sesama aktivis Orang Muda Katolik (OMK) di pelataran parkir. Sembari membantu relawan yang mengatur parkir, para aktivis OMK menggalang dana untuk kegiatan Jambore OMK yang akan mereka ikuti.
Sekitar pukul 07.10 WIB, Desmonda melihat sepeda motor berkecepatan cukup tinggi menyelonong masuk ke halaman gereja. Pengedaranya dua orang laki-laki berpakaian serba hitam, berhelm teropong, serta membawa kardus di bagian tengah. Dengan sigap, Koordinator Relawan Keamanan GSMTB, Aloysius Bayu Rendra Wardhana, mencegat motor tersebut.
Baca juga Gereja Surabaya Adakan Iftar Memeringati Setahun Tragedi Bom Surabaya
“Dhuar.” Masih lekat dalam ingatan Desmonda suara ledakan yang bersumber dari sepeda motor itu. Spontan Desmonda berlari menjauh. Namun beberapa detik berikutnya, badannya terhuyung. Dia tersungkur ke tanah. Sejumlah rekannya bergegas membawa Desmonda menuju rumah sakit terdekat.
Awalnya rumah sakit terlihat sepi. Tetapi, lima belas menit setelahnya, puluhan orang mulai memadati rumah sakit untuk mencari kabar sanak saudara mereka. Karena saat itu hari Minggu, hanya ada satu dokter yang berjaga di rumah sakit. Desmonda mendapatkan pertolongan pertama. Baru beberapa jam berikutnya dilakukan tindakan medis yang lebih serius. Desmonda menjalani operasi penanganan luka selama kurang lebih tiga jam, dari pukul 12.00 -15.00 WIB.
Akibat peristiwa tersebut, gadis 21 tahun tersebut mengalami luka di beberapa bagian tubuhnya. “Awalnya saya mengira luka hanya ada di dua titik yaitu paha dan betis, tapi ternyata rambut sebelah kanan terbakar, serpihan-serpihan logam menancap di kulit, leher pun mengalami luka. Puji Tuhan, luka di leher tidak mengenai nadi,” tuturnya.
“Saya berupaya berdamai dengan kekhawatiran dengan mengamati lokasi ledakan.”
Selama lima hari menjalani rawat inap, mahasiswi Universitas Widya Mandala Surabaya itu terus-menerus menonton siaran televisi yang menyiarkan tragedi peledakan bom beruntun di Surabaya. Kondisi psikisnya sempat terpengaruh. Muncul trauma, kekhawatiran, dan ketakutan dalam dirinya. Namun, dia berusaha melawan perasaan itu. Sepekan pascamusibah dirinya tetap berangkat ke GSMTB untuk beribadah. “Saya berupaya berdamai dengan kekhawatiran dengan mengamati lokasi ledakan,” ucapnya.
Usai masa rawat inap, Desmonda harus menjalani check-up rutin setiap pekan selama tiga bulan. Luka bekas jahitannya sempat terkelupas akibat kelelahan dan cuaca dingin saat dirinya menjalani kegiatan di luar kota. Meskipun demikian, Desmonda sama sekali tidak mengeluh dan menghadapinya dengan sabar.
Atas segala yang menimpanya, Desmonda enggan menyimpan kemarahan apalagi dendam. Dia sepenuhnya menyadari bahwa dendam justru membuat luka kian menganga. ‘’Puji Tuhan tidak ada rasa seperti itu ke mereka (para pelaku). Untuk apa marah ke mereka, toh juga mereka sudah pergi.” [LADW]