Home Pilihan Redaksi Tiga Pesan Damai Mantan Ekstremis untuk Generasi Muda

Tiga Pesan Damai Mantan Ekstremis untuk Generasi Muda

Aliansi Indonesia Damai- Kisah perjalanan hidup setiap orang berbeda-beda. Ada yang berjalan mulus, ada pula yang harus melalui jalan terjal. Bahkan ada pula yang pernah terjerumus ke dalam jalur terorisme sebagaimana dialami Iswanto. Pria asal Lamongan tersebut pernah bergabung dalam kelompok ekstremisme, yakni Jamaah Islamiyah (JI). 

Sejak kecil, Iswanto memang selalu bersemangat mempelajari ilmu agama. laki-laki kelahiran 12 Mei 1978 ini sudah mulai mengikuti pengajian keagamaan sejak kelas 2 SMP. Bahkan di usia 15-19 tahun ia juga belajar di pesantren. 

Namun demikian, setelah lulus dari pesantren, Iswanto terjerumus dalam dunia ekstrimisme. Keinginannya bergabung dalam kelompok ini tak serta merta dilandaskan kehendak pribadi, melainkan atas dorongan guru-guru dan teman-temannya. 

Baca juga Malam Kebersamaan Tim Perdamaian

Salah satu guru Iswanto adalah Ali Imran, pelaku Bom Bali tahun 2002 yang divonis penjara seumur hidup. Selain Ali Imran, ada pula sejumlah teman-teman Iswanto, yakni mantan pelaku lain yang juga dijatuhkan hukum atas peristiwa pengeboman atau kerusuhan. Mereka itulah yang menanamkan ideologi “jihad” kepada Iswanto, baik secara teori maupun praktik.

Semua guru yang mengajari ideologi ini adalah lulusan luar negeri, termasuk Ali Imran yang merupakan lulusan Universitas Abu Bakr, Pakistan. Guru-gurunya menyarankan Iswanto agar melanjutkan studi ke Pakistan, karena negara tersebut dekat dengan Afghanistan, sehingga saat masa libur tiba, ia bisa langsung mempraktikan “jihad” ke Afghanistan. Namun atas kehendak Allah, Iswanto gagal melanjutkan pendidikan ke Pakistan karena tak mendapatkan visa. Meskipun demikian, Iswanto belum juga menyerah, konflik bernuansa keagamaan di Poso dan Ambon akhirnya ia jadikan sebagai ajang praktik “jihad” bersama teman-temannya.

Iswanto menduduki posisi yang cukup penting dalam kelompok ini. Saat berada di Poso, ia menjadi salah satu komandan yang bertugas mengajarkan militer kepada para anggotanya, tidak hanya anggota yang berasal dari Indonesia, melainkan juga yang datang dari Malaysia, Singapura dan Arab Saudi. Saat berada di Ambon, Iswanto bertanggungjawab sebagai bendahara keuangan yang juga mendata logistik persenjataan.

Baca juga Berhijrah ke Jalan Damai

Seiring berjalannya waktu, Iswanto mulai menyadari bahwa jalan jihad yang ditempuhnya selama ini tidaklah benar. Keraguan tentang ideologi yang dianutnya berawal dari perintah gurunya, Ali Imran yang memintanya untuk berhenti berjihad dengan senjata. Di samping itu, Amrozi, saudara Ali Imran justru memerintahkannya untuk tetap melanjutkan perjuangannya dan jangan berhenti berjihad.

Iswanto sempat kebingungan harus mengikuti perintah yang mana. Ia pun mengambil jalan tengah, yakni memilih pendidikan. Iswanto mengejar paket C untuk mendapat ijazah SMA, lalu melanjutkan studinya hingga ke jenjang S2.

Ia juga kembali menelaah makna jihad hingga akhirnya menyadari kekeliruannya. Dengan penuh kesadaran, Iswanto akhirnya memilih keluar dari kelompok ekstrimis dan bertaubat dengan penuh kesungguhan.

Baca juga Metamorfosis Mantan Teroris: Dari Ulat Menjadi Kupu-Kupu

Saat ini, Iswanto bergelut di bidang pendidikan dan aktif mengampanyekan perdamaian. Ketika melakukan kampanye damai bersama tim AIDA (19/3/2019), Iswanto menyampaikan tiga pesan perdamaian kepada para siswa SMAN 1 Kepanjen, di antaranya:

Pahami agama sebagai ajaran perdamaian

Iswanto mengajak generasi muda untuk memahami agama sebagai ajaran perdamaian. Di tengah perkembangan teknologi yang semakin canggih, serta penyebaran informasi yang semakin luas dan mudah, posisi generasi muda saat ini menjadi sangat rawan, informasi  bisa berbahaya jika tidak ada filternya.

“Bentengi diri dengan ilmu. Pelajarilah ilmu agama dengan benar dan sempurna, jangan separuh-separuh. Kalau tidak paham dengan bacaan atau kata-kata yang ada kaitannya dengan agama, tanyakan pada orang yang mengerti, jangan paksakan untuk mengerti sendiri,” ucap Iswanto.

Pilihlah guru dan teman yang mencintai perdamaian

Berkaca pada pengalamannya memilih guru dan kawan yang salah, Iswanto mengingatkan generasi muda untuk berhati-hati memilih teman. Karena sikap dan peran seseorang bergantung pada temannya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seorang bergantung pada agama teman dekatnya, maka hendaklah setiap kalian melihat siapa yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud dan Ahmad)

Tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan

Dahulu, Iswanto dan kawan-kawannya bertindak ekstrem sebagai balasan atas ketidakadilan yang menimpa muslim di berbagai belahan dunia. Mereka melihat kaum muslimin di luar negeri banyak dizalimi. Oleh sebab itu, Iswanto dan teman-temannya melampiaskan kekecewaan mereka kepada pemerintah Indonesia dan non-muslim yang berada di Indonesia.

Iswanto amat menyesali perbuatannya. Ia menyadari bahwa membalas ketidakadilan dengan ketidakadian tak akan menyelesaikan masalah, melainkan akan menimbulkan masalah yang lebih besar. Sebelum menutup perbincangannya, Iswanto berpesan agar generasi muda dapat mengambil pelajaran dari perjalanan hidupnya, agar kasus terorisme di Indonesia tak terulang kembali.

Baca juga Jalan Panjang Mantan Kombatan Menuju Perdamaian

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *