Kisah Penyintas Mengikis Kebencian
Peristiwa bom Kuningan di depan Kedutaan Besar Australia, Jakarta, sudah terjadi 15 tahun lalu. Namun demikian, tidak mudah bagi para korban untuk melupakan kejadian mengerikan itu. Sejumlah korban masih menahan rasa sesak ketika harus menceritakan kembali ledakan dahsyat pada 9 September 2004 itu. Salah satunya Ram Mahdi Maulana. Dengan suara lirih, ia berbagi kisah dalam sebuah kegiatan AIDA pada pertengahan Oktober lalu.
Ram Mahdi awalnya tidak mengira bahwa pagi itu akan terjadi serangan bom di tempat kerjanya. Meskipun setelah salat subuh, ia sedikit menunda keberangkatan ke kantor, namun pada akhirnya Ram pun tetap berangkat. Pada mulanya, aktivitas terjadi seperti biasa di kantor. Dimulai dengan mempersiapkan perlengkapan kerja, mengecek posisi para rekan kerja dan bercanda dengan rekan-rekan petugas keamanan di halaman gedung Kedubes. Namun ketika hendak beranjak kembali keruangan, tiba-tiba ledakan besar terjadi, kepala Ram Mahdi terbentur.
“Saya sempat mengalami blank, seketika telinga saya tidak bisa mendengar apa-apa. Saya tarik jas dan berlari ke luar dengan sempoyongan. Dengan panik, saya keluar pagar, di hadapan saya semua terlihat warna putih,” kenang Ram Mahdi.
Baca juga Mengolah Rasa Melalui Dialog Interaktif
Ram Mahdi berjalan tanpa arah dengan meraba-raba. Alarm mobil berbunyi di mana-mana, belum lagi banyak korban yang tergeletak di jalanan membuat suasana makin sangat kacau. “Saya mendengarkan rintihan orang meminta tolong, merintih sakit, panas, mengadu. Saya panik, pikiran saya terpecah,” ucap Ram Mahdi dengan perlahan-lahan. Fisiknya yang terlatih sebagai tim keamanan, membuatnya masih kuat menahan rasa sakit dan tidak meninggalkan lokasi kejadian.
Selama tiga hari pasca ledakan, Ram Mahdi masih bertugas di kantor, mengawal beberapa pejabat yang melakukan kunjungan ke kantor tersebut. Meski ia sempat merasakan sedikit pusing, namun tidak menjadi penghalang. Ia hanya beranggapan itulah efek kelelahan tiga hari terus bekerja dengan kondisi yang padat.
Demi tugas itu, Ram Mahdi lupa menghubungi keluarganya, terlebih telepon selulernya hilang saat kejadian. Keluarga pun mengira ia gugur dalam menjalankan tugas, karena tidak ada kabar darinya. “Saya baru pulang ke rumah hari keempat. Saya pulang, keluarga kaget dan menangis. Saya mulai merasakan kepala sakit dan mata merah, tak lama kemudian saya tak sadarkan diri,” kenang pria asal Bogor tersebut.
Baca juga Sudjarwo Bangkit Kembali Merajut Mimpi
Ram Mahdi tak sadarkan diri selama dua hari di rumah sakit. Hasil pemeriksaan medis menunjukkan bahwa ia mengalami benturan di kepala yang menyebabkan adanya gumpalan darah. Tidak hanya di bagian kepala, Ram Mahdi pun harus menerima kenyataan ketika telinga kanannya mengalami kerusakan di bagian gendang. Kerusakan itu membuat telinganya sering berdenging hingga kini.
Dua bulan lamanya Ram berada di rumah sakit. Cobaan baru pun muncul, ia mengalami gangguan syaraf sehingga fungsi tubuh menurun. Hal itu membuatnya terpukul dan depresi. “Saya jalani fisioterapi di bulan kedua karena nggak bisa memegang barang, saya emosi dan keluarga menangis,” ungkap Ram Mahdi.
Menjadi seorang korban bom, membuat banyak perubahan di dalam hidup Ram Mahdi. Sulit menerima kenyataan: awalnya sehat, kini harus mengikuti fisioterapi untuk bisa kembali berjalan. Hal itu ia lewati selama tiga bulan. Ia pun rutin meminum berbagai obat-obatan setiap hari, dua minggu sekali cek darah ke rumah sakit dan juga ke psikolog untuk memulihkan emosinya.
Baca juga Generasi Muda Haurgeulis Teladani Kesabaran Penyintas
Melihat kondisi Ram demikian, banyak orang yang menganggapnya tidak mampu bekerja dengan maksimal. “Saya sakit hati, kecewa pasti, sakit fisik juga akhirnya saya menyimpan dendam. Saya menyimpan kemarahan yang besar kepada pelaku kekerasan itu. Saya benci, saya marah,” ujar ayah dua anak tersebut.
Dendam Berakhir Memaafkan
Menaruh dendam berkepanjangan kepada para teroris ternyata menjadi beban tersendiri pada dirinya. Pada suatu ketika, ia merenung, “Sampai kapan saya harus memikul dendam? Sampai kapan kebencianku harus kupendam?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut membawanya untuk melakukan iktikaf di sebuah Masjid. Dalam iktikaf itu, ia pun bertemu orang asing yang memberikannya pesan mendalam. “Dia berpesan, di mana pun kamu berdiri, di situlah lahan dakwah kamu,” ucap Ram mengulangi pesan orang asing tersebut.
Tidak lama setelah iktikaf selesai, Ram Mahdi bertemu seorang ibu-ibu yang memberi makan seekor kucing yang kakinya patah. Ia mengaku mendapatkan pembelajaran dari kebaikan seorang ibu terhadap kucing tersebut. “Ada kalimat yang menggedor hati saya, ibu ini mendoakan orang yang telah menyakiti kucing tersebut agar bisa diberi berkah, hati saya seperti digedor!”.
Baca juga Memaafkan, Hilangkan Dendam
Ram Mahdi kemudian berpikir, orang yang berbuat jahat pun perlu didoakan. Terlebih agamanya mengajarkan memaafkan dan saling mendoakan. Menurut pria yang mengenakan penyanggah leher, Islam dan Rasulullah telah memberi contoh untuk senantiasa mengasihi dan mendamaikan, baik kepada diri sendiri maupun terhadap orang lain.
Waktu pun berlalu. Rupanya pesan-pesan perdamaian yang ia temukan tidak berhenti sampai di situ. Suatu saat, Ram bertemu seorang ulama yang berpesan kepadanya bahwa kebencian itu akan terkikis dan kebaikan tidak akan pernah habis. Pesan tersebut semakin menguatkan dirinya untuk menghilangkan dendam dan mengikhlaskan semua yang terjadi.
Akhirnya Ram mengikhlaskan apa yang terjadi padanya sebagai takdir dan cobaan. Ram pun memutuskan bangkit dari keterpurukannya dan membuka diri untuk memaafkan yang dulunya sangat ia benci. Keinginannya untuk memaafkan membuatnya bergabung dengan tim perdamaian AIDA.
“Saya dipertemukan dengan apa yang dulu saya anggap musuh, ternyata setelah saya mendengar kisah mantan pelaku, beliau pun dalam hatinya bergejolak. Akhirnya kami bisa berangkulan, kami akhirnya bisa saling memaafkan,” terang Ram saat berjumpa dengan mantan pelaku.
Ram pun berpesan agar tidak ada lagi kekerasan karena perbedaan. Meskipun memiliki rasa benci, tidak ada gunanya melakukan kekerasan demi menyelesaikan suatu persoalan. “Satu hal yang penting, setiap orang punya rasa benci, tapi percayalah kebencian itu akan terkikis, tapi kebaikan tidak akan pernah habis. Mari kita saling menghargai dan bersama-sama menyebarkan perdamaian,” pungkas Ram.
Baca juga Mukhtar Khairi, Makin Mantap Meninggalkan Ekstremisme Setelah Bertemu Korban
3 Comments