Penyebar Berita Palsu vs Wadah Perdamaian
Oleh: Novi
Mahasiswa Kajian Terorisme, Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia
Media berperan dalam menyebarkan informasi kepada publik. Relasi antara produsen media dengan audiens menimbulkan terjadinya sosialisasi. Akan tetapi, dewasa ini pengguna media, baik produsen atau konsumen, memiliki otoritasnya sendiri dalam membuat atau menyebarkan ke publik lain terkait isu atau informasi yang ada.
Dalam kasus ISIS, mereka memiliki propaganda yang merupakan salah satu kekuatan untuk bertahan dan bersifat multidimensional, multi-vektor, dan ditargetkan secara cermat. Mereka aktif melakukan komunikasi melalui pusat medianya Al-Hayat dan ”jihadosphere” yang terus berkembang secara signifikan sejak proklamasi resmi kekhalifahan pada tahun 2014. Mereka tidak hanya memiliki situs web, jurnal online, dan chat rooms, tetapi juga melalui jejaring sosial, blog, messengers, situs video, Twitter, Facebook, Instagram, WhatsApp, dan sebagainya.
Baca juga Indonesia di Ujung Jari Kita
Pemilihan audiens yang cermat dilakukan karena mereka bertujuan untuk mengeksploitasi kerentanan sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat tertentu (Vilmer, 2018). Oleh karena itu, media sangat berpotensi sebagai agen penyebaran manipulasi informasi terkait isu terorisme, di samping itu juga bisa menjadi sebuah wadah perdamaian dunia.
Manipulasi Informasi dalam Media
Manipulasi informasi terjadi karena adanya kegagalan kognitif (cognitive failings) dan krisis epistemologis (an epistemological crisis). Disinformation mengeksploitasi kemalasan intelektual, yang ditandai oleh kegagalan untuk melakukan pemikiran kritis dan sistematis, serta memutuskan untuk menerima dan menyampaikan informasi tanpa mencari bukti pendukung terhadap informasi tersebut.
Baca juga Peta Terorisme Pasca-Baghdadi
Seperti dilansir bbc.com bahwa salah seorang returnis, Nur Dhania mendapatkan informasi mengenai ISIS dari Facebook, Tumblr, sampai kanal Diary of Muhajirah. Di sana ia memaknai bahwa untuk menjadi muslim yang sesungguhnya harus hijrah ke Suriah.
Hal tersebut menunjukan bahwa berita palsu menyebar lebih cepat ketimbang berita yang akurat karena alasan psikologis. Berita yang akurat seringkali bukanlah berita baru, melainkan hanya konfirmasi dari apa yang sudah kita ketahui atau kita duga. Sekarang ini juga publik tidak lagi dapat dilihat melalui kacamata informasi yang salah dan dapat dibantah, tetapi sebagai ’realitas alternatif’ yang dibagikan oleh banyak orang. Kedua hal tersebutlah yang membuat maraknya disinformasi yang disengaja maupun tidak.
Respons terkait Manipulasi Informasi
Sangat mudah melakukan penyebaran informasi kepada publik, baik itu informasi yang benar maupun yang salah. Dari berbagai kasus disinformasi, respons negara serta masyarakat sipil sangat dibutuhkan.
Baca juga Kisah Korban dan Mantan Pelaku: Role Model Rekonsiliasi
Beberapa bentuk respons yang harus diketahui yakni meningkatkan kesadaran publik tentang bahaya yang ditimbulkan oleh manipulasi informasi, wartawan lebih independen dan tidak memihak. Bekerja sama dengan platform digital untuk menghapus jutaan akun palsu dan propaganda terorisme. Tak kalah penting adalah kesadaran pemilihan informasi yang mudah untuk diakses.
Media sebagai Wadah Perdamaian
Media sebagai wadah dalam memanipulasi informasi, ternyata juga bisa sebagai agen perdamaian. UNDP berpendapat bahwa media berperan sebagai sebuah instrumen dalam perdamaian, yakni:
1. Media berperan untuk menyatukan berbagai kelompok dalam mendiskusikan masalah. Media efektif untuk membangun hubungan dan mendukung pemahaman antara individu-individu yang menganggap diri mereka berbeda.
2. Media berperan dalam meningkatkan pengetahuan akan isu yang kompleks, termasuk isu kekerasan ekstrimisme. Ini dapat membantu individu untuk berpikir lebih kritis.
3. Media sebagai pembentuk psikologi masa yang berujung pada pembentukan sikap dan reaksi emosional masyarakat, Pada tahun 2016, masyarakat bersama-sama membuat sebuah trending di Twitter dengan tagar kami tidak takut (#kamitidaktakut). Lalu, 13 November 2019, terjadi serangan bom bunuh diri di Medan, Sumatera Utara, karena kegeraman masyarakat akan kejadian yang menimpa korban-korban, serta lingkunagn sekitar, mereka membuat #terorismemusuhbersama di Twitter.
Baca juga “Secarius” di Abad Informasi
1 Comment