Home Pilihan Redaksi Metamorfosis Mantan Teroris: Dari Ulat Menjadi Kupu-Kupu

Metamorfosis Mantan Teroris: Dari Ulat Menjadi Kupu-Kupu

Dulu saya ibarat ulat, kemudian bermetamorfosis menjadi kepompong, dan sekarang berubah menjadi kupu-kupu. Saya ingin Ali Fauzi sekarang menjadi kupu-kupu yang setiap orang inginkan dan mereka bersandar pada kupu-kupu itu. Jangan contoh Ali Fauzi yang dulu, tapi contohlah Ali Fauzi yang sekarang.

Aliansi Indonesia Damai- Pernyataan itu disampaikan salah seorang mantan teroris, Ali Fauzi Manzi, dan disambut tepuk tangan meriah oleh peserta Seminar Halaqah Perdamaian di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Maret lalu. Kegiatan diselenggarakan oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA) bekerja sama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UPI sebagai bagian dari kampanye perdamaian di kalangan generasi muda.

Ali Fauzi menggunakan perumpamaan itu untuk melukiskan perjalanan hidupnya dari kelamnya jalan kekerasan menuju indahnya dunia perdamaian. Di kalangan teroris, Ali Fauzi bukanlah orang biasa. Ia dikenal sebagai salah seorang yang piawai merakit bom. Pria kelahiran Lamongan, 1971 ini merupakan saudara kandung dari dua terpidana mati dan satu terpidana seumur hidup pelaku Bom Bali 2002.

Pertama kali ia menjajaki dunia ekstremisme ketika berbaiat menjadi anggota Negara Islam Indonesia (NII) pada tahun 1991. Beberapa tahun kemudian terjadi perpecahan di tubuh kelompok tersebut. Sebagian mantan anggota NII membentuk kelompok baru bernama Jemaah Islamiyah (JI). Tahun 1994 Ali bergabung dengan organisasi yang berafiliasi langsung dengan Al-Qaeda itu.

Selama aktif di JI, Ali menjadi pentolan dan salah satu figur penting dalam jaringan. Ia dikirim oleh petinggi JI untuk bergabung ke akademi militer Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Filipina Selatan. Sejak saat itu, karir kemiliterannya cukup gemilang. Ia mendapatkan kehormatan menjadi anggota special elite MILF. Sepulang dari Filipina, ia aktif menjadi kepala instruktur perakitan bom di sejumlah wilayah Indonesia. Dari pengalamannya itu, keahliannya dalam merakit bom tidak perlu dipertanyakan lagi.

Baca juga Mereka Tersadarkan Setelah Bertemu Korban

Sepak terjang Ali dalam jaringan terorisme terhenti ketika pihak keamanan Filipina berhasil menangkapnya pada tahun 2004. Ali Fauzi diekstradisi ke Indonesia dalam kondisi penuh luka berat. Meskipun demikian, hal yang tak pernah ia bayangkan adalah ternyata pihak kepolisian memberikan perawatan medis dan perhatian atas luka-luka yang dialaminya. Dari sinilah, titik balik pertobatan Ali Fauzi bermula. 

Pengalaman itu mengubah pandangan Ali Fauzi terhadap kepolisian yang semula ia anggap sebagai thaghut. Hatinya yang keras dan penuh rasa permusuhan, perlahan luluh berkat perlakuan simpatik dan manusiawi aparat terhadapnya. Padahal, sebelumnya ia dan koleganya di jaringan teroris kerap menganggap polisi sebagai pihak paling jahat.

“Dulu senior-senior mengatakan polisi itu iblis dan setan. Tetapi ketika saya temui, ternyata lain ceritanya. Mereka justru membantu saya dan mengobati luka-luka saya,” ujar Ali Fauzi di hadapan ratusan mahasiswa peserta Seminar Halaqah Perdamaian.

Selain itu, Ali Fauzi menceritakan bahwa hal paling berpengaruh yang membuatnya berubah dan memilih meninggalkan jaringan teror adalah ketika dipertemukan dengan korban aksi terorisme. Hati nuraninya tersentuh melihat kondisi fisik korban yang sudah tidak sempurna. “Waktu itu untuk pertama kalinya saya bertemu langsung dengan salah satu korban. Muka dan badannya rusak. Ketika saya pegang tangannya, saya saksikan sendiri tangannya itu membengkak dan mengelupas. Seketika itu saya menangis dan merangkulnya,” kenang Ali. 

Baca juga “Kasih Sayang Orang Tua Mengalahkan Itu Semua”

Terlebih setelah Ali Fauzi bertemu dengan AIDA, ia mendapat kesempatan untuk berjumpa dengan lebih banyak lagi korban terorisme lainnya. Ia mengaku hatinya semakin remuk ketika mendengar cerita penderitaan para korban. Namun, ia merasa takjub melihat ketabahan dan ketangguhan mereka. Meskipun terzalimi, para korban tetap memiliki kelembutan hati untuk bertemu dan memaafkan mantan pelaku seperti dirinya.

Sejak saat itu, Ali Fauzi makin memantapkan hati untuk merintis jalan baru, yaitu jalan perdamaian. Meski mendapat penentangan dari teman-teman lamanya hingga divonis kafir, langkahnya tak surut untuk terus maju. “Saya bersumpah tidak akan pernah mundur ke belakang. Yang membahagiakan di sisa umur saya yaitu bisa bersama-sama melakukan kampanye perdamaian bersama dengan korban, AIDA, dan kawan-kawan lainnya ke seluruh Indonesia, menuju Indonesia baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur,” ujarnya.

Tak bisa dimungkiri, pertemuannya dengan sejumlah korban menjadi salah satu faktor paling dominan yang membuatnya tersadarkan bahwa aksi terorisme telah melukai orang-orang tak bersalah. Bahkan, perjumpaan dengan korban menjadikan kedua belah pihak akrab dan bekerja sama mengampanyekan perdamaian. “Baru terjadi di dunia, mantan teroris berdampingan dengan korban-korban,” ungkapnya.

Berangkat dari pengalaman pribadinya itu, Ali Fauzi semakin giat untuk ikut serta menyemai benih-benih perdamaian. Ia pun mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP) sebagai wadah untuk mencegah penyebaran virus ekstremisme. YLP juga membantu kehidupan mantan pelaku selepas keluar dari penjara, dengan menampung serta memberdayakan mereka. Ia meyakini, pengucilan terhadap mantan pelaku hanya akan menumbuhkan bibit-bibit terorisme baru.

Bagi Ali, semua manusia di muka bumi ini pasti pernah melakukan kesalahan, namun masa depan adalah lembaran baru yang masih bersih untuk diisi dengan hal yang lebih bermanfaat. Pada masa lalu boleh saja Ali menjadi ulat yang merusak, namun hari-hari ke depan ia bertekad menjadi kupu-kupu yang memberi keindahan bagi setiap orang yang melihatnya. [FAH]

Baca juga Jalan Panjang Mantan Kombatan Menuju Perdamaian

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *