Kisah Korban dan Mantan Pelaku: Role Model Rekonsiliasi
Oleh: Faruq Arjuna Hendroy
Alumnus Hubungan Internasional UIN Jakarta
Indonesia adalah negara-bangsa besar. Negara berpenduduk lebih dari 260 juta orang ini memiliki kekayaan suku, etnik dan agama yang beraneka ragam. Kekayaan ini adalah anugerah sekaligus menjadi keunggulan yang tidak dimiliki bangsa lain. Namun demikian, seiring keberagaman yang ada, muncul masalah dan tantangan yang tak kalah besar pula. Ya, apalagi kalau bukan konflik sosial. Sebuah masalah yang kerap menghantui keutuhan bangsa ini.
Konflik Sosial
Menurut Soerjono Soekanto (1992), konflik sosial adalah pertentangan atau pertikaian suatu proses yang dilakukan orang atau kelompok manusia guna memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman dan kekerasan. Konflik sosial bisa dirasakan oleh segenap lapisan masyarakat, dari lingkup terkecil seperti dalam keluarga, hingga lingkup terbesar seperti antar negara. Penyebab utama timbulnya konflik bisa berupa perbedaan pendapat, ideologi, atau budaya yang belum terselesaikan dan ditemukan jalan tengahnya.
Secara naluriah, agaknya tidak ada yang mengharapkan konflik terjadi. Sebab, dampak dari konflik itu merusak tatanan sosial yang ada. Mulai dari kehilangan nyawa, rusaknya harta benda, hingga trauma psikologis yang berkepanjangan. Bahkan, terkadang yang menjadi korban adalah pihak yang tak berdaya dan tidak tahu-menahu soal akar konflik itu. Naluri damai yang secara alamiah ada dalam diri manusia mendorong pihak-pihak yang terlibat untuk menghentikan konflik dan memulai proses rekonsiliasi.
Baca juga Alasan di Balik Sebuah Pemberian Maaf
Akan tetapi, demi terwujudnya rekonsiliasi dibutuhkan perjuangan ekstra. Sebab, dalam diri pihak yang bertikai, cenderung masih ada rasa dendam dan amarah. Butuh waktu yang cukup lama untuk merajut kembali semangat kebersamaan yang sudah tercabik-cabik. Hal yang paling dibutuhkan dalam hal ini adalah kepercayaan (trust) dari masing-masing pihak. Karena kecurigaan hanya akan memperparah siklus kebencian dan menghambat jalan menuju perdamaian.
Rekonsiliasi Korban & Mantan Pelaku
Tentang kepercayaan dalam proses rekonsiliasi tersebut, kita bisa belajar dari kisah korban dan mantan pelaku terorisme. Hubungan korban dan mantan pelaku awalnya tidak baik. Kedua belah pihak berada dalam posisi yang berseberangan. Ini disebabkan oleh aksi pelaku di masa lalu yang jelas-jelas memberikan penderitaan yang dahsyat bagi korban. Penderitaan itu akhirnya menumbuhkan rasa amarah dan benci dalam diri korban, serta memunculkan persepsi bahwa semua pelaku terorisme adalah penjahat.
Baca juga Menghentikan Spiral Terorisme
Meskipun demikian, kisah Dwi Siti Rhomdoni atau akrab dengan Dwiki, korban Bom Thamrin 2016, yang memaafkan dan berteman dengan mantan pelaku membuktikan bahwa rekonsiliasi itu sangat mungkin terjadi. Dalam sebuah pertemuan yang diorganisir oleh AIDA, Dwiki dipertemukan dengan salah seorang mantan pelaku terorisme. Awalnya Dwiki cuek saja. Masih ada rasa kesal dalam diri Dwiki ketika melihatnya. Namun ketika mantan pelaku tersebut menyesali perbuatannya sambil menangis, hati Dwiki pun luluh.
Dwiki melihat ada ketulusan untuk meminta maaf dari sorot mata mantan pelaku itu. Ia percaya bahwa penyesalan dan permohonan maaf dari mantan pelaku benar-benar datang dari hati. Dari situlah Dwiki percaya bahwa mantan pelaku sudah berubah. Mungkin, inilah saatnya bagi Dwiki untuk ikhlas memaafkan mantan pelaku.
Hubungan antara keduanya pun berlanjut ke arah yang positif. Keduanya aktif membangun komunikasi dan sikap saling percaya, layaknya teman karib. Untuk saat ini, keduanya bahkan bergabung dalam Tim Perdamaian AIDA untuk menyuarakan pesan anti kekerasan bersama-sama.
Baca juga Menjalin Soliditas Tim Perdamaian AIDA
Kisah Dwiki bukanlah satu-satunya role model rekonsiliasi. Pembelajaran tentang rekonsiliasi juga dapat dipetik dari kisah Ni Luh Erniati, korban Bom Bali 2002. Erni mengisahkan awal mula dirinya bertemu dengan seorang mantan pelaku bernama Ali Fauzi, yang juga adik kandung dari pelaku yang menewaskan suami Erni dalam peristiwa Bom Bali 2002. Dengan status itu, baik Erni maupun Ali Fauzi pastinya membutuhkan kesiapan mental ketika bertemu satu sama lain.
Dalam pertemuan itu, Erni menceritakan penderitaan yang dialaminya pasca kehilangan suami. Sementara Ali Fauzi menceritakan alasan mengapa kelompoknya melakukan kekerasan. Dengan penuh penyesalan, Ali Fauzi yang terisak tangis menyatakan bahwa tindakan yang pernah ia lakukan adalah sebuah kesalahan. Ia dengan tulus meminta maaf kepada korban.
Penyesalan dan permintaan maaf yang tulus dari Ali Fauzi mengikis amarah dan benci Erni. Secara dewasa, Erni menyadari bahwa semua orang pasti punya salah. Meskipun begitu, semua orang tetap punya kesempatan untuk berubah. Pasca rekonsiliasi, Erni dan Ali Fauzi menjadi sahabat, bahkan mereka menyempatkan untuk berbalas komentar di media sosial. Perdamaian sedikit demi sedikit kembali dirajut.
Baca juga Malam Kebersamaan Tim Perdamaian
Dalam artikel berjudul “Membangun Kembali Perdamaian: Rekonsiliasi Konflik Komunal Berbasis Trust,” Moh. Nutfa dan Sakaria Anwar (2015) menyatakan bahwa asosiasi dan kerjasama adalah indikator suksesnya sebuah rekonsiliasi.
Asosiasi menandakan adanya peleburan dalam interaksi kelompok. Artinya sebuah masyarakat tidak hanya berkumpul dengan kelompoknya (in group), melainkan mau membaur dengan kelompok lain (out group). Sementara itu, kerjasama adalah upaya untuk menjaga keharmonisan dan sense of belonging (rasa memiliki) di antara pihak-pihak yang berekonsiliasi. Setiap pihak yang sudah berdamai berjuang bersama untuk kepentingan kolektif, sehingga mengikis sekat-sekat individualistis.
Segelintir korban dan mantan pelaku terorisme yang telah memenuhi dua indikator di atas layak disematkan predikat role model rekonsiliasi. Baik korban maupun mantan pelaku telah melakukan proses asosiasi. Kedua belah pihak membagikan kisahnya masing-masing dan membaur satu sama lain. Lalu, keduanya juga membangun kerjasama untuk memberikan pembelajaran perihal perdamaian kepada masyarakat luas.
Baca juga Keakraban, Kedamaian dan Pesona Bromo
2 Comments