Menjadi Kontra Narator

Aliansi Indonesia Damai – Ketika menempuh pendidikan di salah satu SMA di Jakarta, dia termasuk siswa pembangkang dan hobi tawuran. Namun perilaku buruk itu berubah drastis ketika dirinya menemukan buku di masjid sekolahnya. Buku itu membahas tentang jihad di Palestina dan Bosnia. Sejak saat itu, ia mulai gemar mengikuti pengajian, bergabung dengan kelompok tarbiyah, dan bertemu dengan tokoh Jamaah Islamiyah. Kendati demikian dia mendaftarkan diri bergabung dengan Kepolisian RI.

Lahir dari keluarga yang sebagian berprofesi sebagai polisi, termasuk ayahnya, tidak menyurutkan minat Sofyan Tsauri untuk bergabung dengan kelompok ekstrim. Dalam pengalamannya, wawasan kebangsaan sedemikian rupa tidak membuat seseorang aman dari pemahaman keagamaan ekstrim.

Baca juga Pengarusutamaan Korban Dalam Pemberitaan Terorisme

Saat ideologi ekstremisme memuncak dalam dirinya, Sofyan memutuskan terlibat dalam rencana pelatihan militer dalam rangka menyiapkan para mujahid untuk berperang melawan kezaliman rezim Barat yang menindas umat Islam. Sebelumnya dia terlebih dulu dipecat dari institusi Polri karena alasan indisipliner.

“Ketika tidak bisa memahami lagi mana keburukan dan kebaikan, maka dikhawatirkan orang saleh pun terjerumus ke dalam keburukan,” ujar Sofyan dalam kegiatan Short Course Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme yang digelar AIDA di Malang Jawa Timur, awal Februari lalu. Pernyataan itu diungkapkannya sebagai pengingat agar individu lebih peka terhadap pemikiran-pemikiran yang menyesatkan.

Kepada wartawan dari pelbagai media massa, Sofyan menjelaskan, sejak tahun 2010-sekarang, banyak ekstremis termotivasi ajaran yakfur bit thaghut dalam bentuk membenci dan memerangi thaghut serta aparat-aparatnya. Indonesia dianggap sebagai negeri thaghut yang layak diperangi. Ketika ekstremis tidak bisa melakukannya, mereka terbebani dan merasa bukan muslim sejati.

Baca juga Korban Bom Thamrin: Pesan Damai setelah 4 Tahun Berlalu

Selain itu, motivasi akhir zaman juga turut andil dalam propaganda kelompok ekstrem, salah satunya ISIS. ISIS menganggap mereka sebagai kelompok yang akan membebaskan umat manusia dari keterpurukan. Saat ini Sofyan giat melawan narasi kelompok ISIS melalui media sosial. Pasalnya kelompok ISIS juga menggunakan media sosial untuk menyebarkan propagandanya.

Menurut Sofyan, di kalangan ekstrimis terdapat pemilahan antara in group dan out group. Mereka cenderung hanya mau mendengarkan nasehat dari dalam kelompoknya. Sofyan sebagai orang yang pernah ada dalam kelompok ekstrem merasa bertanggung jawab untuk mengkritik dalil dan segala argumentasi yang digunakan untuk menjustifikasi aksi-aksi teror.

“Mantan pelaku ekstremisme itu diibaratkan vaksin yang akan melawan virus lain. Ketika ada virus masuk, virus lama ini bisa mengidentifikasikan bagaimana sepak terjang teroris tersebut,” ujarnya.

Sofyan juga mengingatkan agar orang cerdas dalam menyeleksi berita di media sosial agar tidak terjerumus ke dalam pemberitaan yang menyesatkan. [NOV]

Baca juga Penguatan Perspektif Korban dalam Isu Terorisme

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *