Ketangguhan Ayah Korban: Ingin Melawan Terorisme (Bag. 1)

Pengantar: Artikel berseri ini bercerita tentang ayah korban teror Paris 2015. Usai berhasil mengatasi kesedihannya, ia mendirikan wadah penyintas teror dan kemudian malah bekerja sama dengan ayah pelaku teror demi membangun perdamaian. Redaksi menerjemahkan dan menyarikannya dari pelbagai sumber daring.

Georges Salines (62 tahun) duduk membaca buku sembari menikmati secangkir kopi di rumahnya malam itu. Sebelum kemudian menyusul istrinya beristirahat di kamar. Ia sama sekali tak mengetahui Lola Salines (28 tahun), putrinya, sedang menghadapi situasi mencekam di salah satu sudut kota Paris Perancis. Beberapa jam kemudian, ia gagal menghubungi Lola. Sehari setelahnya kabar duka datang: Lola telah tiada.

Lola merupakan satu dari 130 korban yang meninggal dunia dalam serangan teror beruntun yang terjadi di Paris pada 13 November 2015. Serangan mengerikan itu tersebar di 6 titik lokasi. Lola meninggal akibat aksi penembakan masal yang dilakukan oleh tiga orang di Teater Bataclan, Paris.

Baca juga Korban Terorisme: Kisah yang Tak Terdengar (Bagian I)

Kehilangan sosok Lola menjadi pukulan berat bagi Georges. Ia mengaku kesulitan menggambarkan perasaan sedihnya kala itu. Kendati demikian ia tidak merasa benci, marah, ataupun berniat membalas dendam terhadap pelaku. Sebaliknya ia mencoba untuk tetap tangguh dan berpikir positif.

Walhasil Georges malah terlibat aktif dalam pendirian asosiasi untuk keluarga korban dan para penyintas dari serangan tersebut. Dalam masa berkabung, ia menulis sebuah buku berjudul The Unspeakable A to Z yang menggambarkan perasaannya ketika memikirkan putrinya. Buku tersebut menjadi sumber terapi baginya.

Nama Georges mulai populer di Perancis lantaran kerap muncul di media massa. Salah satu sosok yang ingin mengenalnya adalah Azdyne Amimour, ayah dari Samy Amimour (28 tahun), salah satu pelaku serangan di Teater Bataclan. Azdyne yang juga merasa kehilangan putranya mencoba menghubungi Georges melalui bantuan pihak ketiga. Mulanya ia ragu Georges mau menemuinya. Bagaimana pun ia adalah ayah dari orang yang terlibat dalam aksi yang menewaskan putrinya. Terlebih sebagai ketua asosiasi penyintas, pertemuan Georges dengannya rawan disalahpahami publik.

Baca juga Korban Terorisme: Kisah yang Tak Terdengar (Bagian II-Terakhir)

Keraguan juga dirasakan oleh Georges. Ia berkali-kali bertanya kepada diri sendiri. Permintaan Azdyne tentu mengagetkannya. Kenapa ayah seorang teroris ingin menemui ayah korban. Bahkan ia juga khawatir orang lain akan menilai Georges bersalah karena menemui Azdyne.

Namun ia memutuskan untuk tetap menemuinya dengan pelbagai alasan, salah satunya keinginan Georges untuk mengetahui lebih dalam tentang terorisme dan alasan yang membuat orang terlibat di dalamnya. Baginya, dengan cara ini ia mampu bertindak lebih untuk mencegah terorisme.

Baca juga Determinasi Diri Penyintas Bom Kuningan

“Saya pernah bertemu dengan ibu yang putranya memutuskan pergi ke Suriah sebagai pelaku jihad dan tahu bahwa keluarga (yang ditinggalkan) juga bisa menderita. Saya mengabdikan hidup saya untuk memerangi terorisme. Namun hanya melalui dialog kita dapat memahami bagaimana mekanisme kekerasan digunakan untuk mengejar tujuan politik atau ideologis,” katanya sebagaimana dikutip oleh The National, 02/02/2020.

Georges ingin tahu dan mendengar langsung tentang keluarga pelaku walaupun hal itu tidak akan menjawab pertanyaannya. Setiap hari sejak 2015, ia terus bertanya apa yang membuat seorang pemuda seusia putrinya memutuskan untuk membunuh Lola. “Saya ingin tahu tentang bagaimana Anda menjadi seorang teroris, apa yang bisa menjelaskan seorang pemuda memutuskan bahwa merupakan hal yang baik untuk mengorbankan dirinya sendiri dan membunuh orang lain seusianya,” ujarnya. (bersambung)

Sumber Klik Disini

Baca juga Membangun Budaya Damai dari Rumah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *