15/05/2020

Peristiwa Iman untuk Pemaafan

Sejumlah acara refleksi peringatan 2 tahun Bom Surabaya digelar secara daring pada Rabu (13/05) malam. Satu di antaranya adalah Misa Online yang digelar Gereja Santa Maria Tak Bercela (GSMTB), salah satu gereja yang menjadi target serangan dua tahun silam.

Misa ini dipimpin oleh Romo Agustinus Eka Winarno. Romo Eka, demikian sapaan akrabnya, menyatakan bahwa peristiwa bom yang terjadi dua tahun lalu bukanlah tragedi, melainkan peristiwa iman yang semestinya membuat manusia menjadi lebih tangguh, mampu membebaskan diri dari rasa benci, dan membuka persaudaraan.

Baca juga Refleksi 2 Tahun ‘Peristiwa Iman’ 13 Mei 2018

“Peristiwa ini sudah seharusnya meneguhkan iman kita sehingga mampu menghasilkan buah yang nyata, yaitu pengampunan, ungkapan syukur, dan ikut terlibat menciptakan perdamaian, bukan hanya di gereja tapi untuk semua orang,” ujar Eka dalam kegiatan yang ditayangkan secara langsung di kanal Youtube ‘Santa Maria Tak Bercela Paroki’.

Eka menuturkan, dalam perjalanannya mendampingi para korban, tidak satu pun dari mereka yang menyimpan dendam. Karena itu ia mengajak masyarakat untuk belajar dari para korban dalam hal mengampuni pelaku pengeboman yang mencederai mereka secara fisik maupun psikis.

Baca juga Dua Tahun Bom Surabaya: Ikhlas Obat dari Segala Obat

“Awalnya ada pertanyaan, peristiwa iman seperti apakah yang terjadi sehingga menyebabkan ada darah dan air mata? Namun seiring berjalannya waktu ada rekonsiliasi besar yang terjadi. Ada penyadaran yang didapatkan dari pengampunan yang mampu dilakukan oleh para korban,” ujarnya.

Pernyataan Romo Eka menuai dukungan dari Romo Didik. Dalam kegiatan dialog daring  “Refleksi 2 tahun Peristiwa 2 Tahun Bom Surabaya” yang diselenggarakan oleh idenera.com, Didik menyatakan bahwa masyarakat harus meneladani pengampunan para korban.

Baca juga Memuliakan Rumah Ibadah

Dalam istilah pastor Paroki Hati Kudus Yesus (HKY) Surabaya ini, para korban berhasil menjadi subjek otonom yang berhasil membebaskan dirinya dari rasa bersalah dan berpikiran untuk menyalahkan keadaan.

“Para korban mampu menjadi subjek otonom dengan mengambil pilihan terbaik untuk hidupnya dengan cara memaafkan. Yang saya tahu, beberapa korban tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mampu memaafkan pelaku,” tutur Didik.

Baca juga Self-Healing untuk Penyembuhan Luka Batin

Salah satu korban yang dimaksud oleh Romo Didik adalah Desmonda Paramartha. Dalam kesempatan ini, ia membagikan kisah pemaafannya terhadap pelaku. Gadis 21 tahun ini mengaku telah mengubur rasa dendam dan kebencian.

“Memang belajar pengampunan itu sulit dilakukan tapi bagaimana pun pelaku ini tidak tahu apa yang mereka perbuat,” ujarnya. [FS & LADW]

Baca juga Membangun Ketahanan Keluarga: Belajar dari Bom Surabaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *