Memuliakan Rumah Ibadah
Oleh: Ahmad Hifni
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta
Teror bom mengguncang ibu kota Jawa Timur pada 13-14 Mei 2018. Sejumlah lokasi yang menjadi target serangan adalah Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jalan Arjuno, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jalan Diponegoro, Gereja Santa Maria Tak Bercela (GSMTB) Ngagel, dan Markas Polrestabes Surabaya. Ada pula ledakan bom rakitan di rumah susun sewa di Wonocolo Sidoarjo, namun korbannya adalah pemilik bom dan keluarganya sendiri.
Lima belas orang tak bersalah menjadi korban jiwa akibat serangan ini, puluhan orang lainnya mengalami cedera. Korban paling banyak berjatuhan akibat serangan di tiga gereja. Teror tersebut digambarkan oleh seorang jemaat GSMTB, Desmonda Paramartha, sebagai peristiwa yang mengubur nurani.
Baca juga Membangun Ketahanan Keluarga: Belajar dari Bom Surabaya
Hingga kini ia masih memendam pertanyaan yang belum menemukan jawaban masuk akal. “Mengapa harus dirinya dan ‘rumah Tuhannya’ yang menjadi korban?“ Ia merasa bahwa dirinya maupun jemaat tiga gereja yang menjadi korban teror tidak pernah berbuat salah kepada para pelaku.
Serangan terhadap rumah-rumah tidak hanya terjadi sekali itu saja. Penelitian Laode Arham (2018) menemukan, sejak tahun 2000 telah terjadi 24 kali aksi terorisme yang menyasar jemaat gereja di 14 kota di Indonesia. Tak hanya gereja, masjid pun menjadi sasaran penyerangan, seperti Masjid Al-Zikra Mapolresta Cirebon (2011), Masjid Amal Bakti Muslim Pancasila di Klaten (2010), dan Masjid Istiqlal (1999). Selain itu, ada pula serangan terhadap Vihara Ekayana di Jakarta pada tahun 2013. Hampir seluruh penyerangan terhadap rumah ibadah tersebut dilatari oleh motif jihad atas nama Islam.
Baca juga Salahuddin al-Ayubi: Panglima Tempur Pencinta Damai
Bagi penulis, tindakan tersebut adalah ironi, mengingat Islam sangat memuliakan tempat ibadah. Allah Swt berfirman: “Dan sekiranya Allah tiada menolak(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah” (QS. Al Hajj: 40).
Dalam menafsirkan ayat tersebut, Syaikh Muhammad Nawawi mengutip pendapat Az-Zujaj yang menyatakan bahwa salah satu tujuan disyariatkannya jihad adalah untuk memertahankan eksistensi rumah-rumah ibadah umat beragama (Marah Labid Tafsir An-Nawawi/Tafsir Munir, Vol. 2 Hal. 56).
Baca juga Belajar Perdamaian dari Islandia
Terlebih karakter dasar Islam sebagai agama yang menyeru kepada kebaikan dan menebarkan kasih pada seluruh umat manusia di muka bumi ini. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiya’: 107). Sisi rahmat Islam dapat dilihat dari karakter pembawa risalahnya, Nabi Muhammad SAW sebagai sosok yang berbudi luhur. Beliau tidak mengajarkan umatnya untuk menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan yang benar, apalagi menyerang rumah ibadah.
Nabi selalu mengingatkan agar jangan sampai timbul pertumpahan darah, bahkan terhadap simbol-simbol yang menandakan peperangan. Nabi pernah melarang keras Ali bin Abi Thalib KW ketika hendak menamai anak pertamanya dengan “harbun”. Sebagaimana lazimnya masa pra Islam, masyarakat Arab sangat bangga menamai anak-anak mereka dengan nama harbun, sebuah simbol keberanian dalam peperangan. Namun Nabi meminta menamai anak sahabat-sahabatnya dengan simbol perdamaian, seperti Abdullah atau Abdurrahman.
Baca juga Dua Tahun Bom Surabaya: Ikhlas Obat dari Segala Obat
Fakta historis demikian menunjukkan bahwa peperangan di masa lalu yang melibatkan kaum muslimin hanya ditunjukkan kepada kelompok yang bersikap mengancam keselamatan atau menyerang kaum muslimin sendiri. Karena itu, istilah yang tepat adalah al-fath (pembukaan) bukan al-harb (peperangan). Agama Islam sendiri sangat erat berhubungan dengan perdamaian, sebagaimana nama Islam berasal dari akar kata salima-salaman yang bermakna selamat atau damai.
Para sahabat Nabi kemudian meneruskan ajaran al-Quran untuk memuliakan tempat-tempat ibadah. Umar bin Khattab misalnya, ketika menguasai Masjidil Aqsa di Jerussalem/Palestina ia tidak menghancurkan gereja dan sinagog di sana. Umar justru menjamin kebebasan umat agama lain untuk beribadah sebagai bentuk keadilan Islam.
Baca juga Refleksi 2 Tahun ‘Peristiwa Iman’ 13 Mei 2018
Lembaga fatwa Dar al-Ifta Mesir sudah lama mengeluarkan fatwa haram merusak atau bahkan menghancurkan tempat-tempat ibadah. Apalagi penyerangan tersebut dilakukan ketika orang-orang tengah beribadah dengan khidmat.
Berbagai serangan terhadap rumah-rumah “ibadah”tanpa alasan yang benar di atas cukuplah menjadi pembelajaran bagi kita semua. Islam hadir tidak untuk menimbulkan konflik dan permusuhan, namun sungguh untuk menunjukkan keselamatan bagi umatnya. Terlebih, Islam mengajarkan di setiap perjumpaan dengan saling mengucapkan salam, assalamu’alaikum, yang bermakna keselamatan atasmu. Wallahu A’lam
Baca juga Membudayakan Perdamaian