14/05/2020

Self-Healing untuk Penyembuhan Luka Batin

Setiap orang pasti pernah merasakan luka, entah fisik maupun batin. Luka fisik berupa penyakit yang menyerang organ tubuh manusia, bisa dilihat atau diraba. Sementara luka batin menyerang perasaan manusia. Berbeda dengan luka fisik, ia tidak terlihat dan tidak mengeluarkan darah, tetapi penderitaannya tidak kalah hebat dari cedera fisik.

Tidak seperti luka fisik yang bisa berangsur membaik berkat bantuan obat-obatan, luka batin kerap berlangsung lama, hingga terkadang menimbulkan depresi dan kehilangan gairah hidup. Penyebabnya bisa bermacam-macam, mulai dari pengalaman pernah disakiti sampai kehilangan orang yang dicintai.

Baca juga Membangun Ketahanan Keluarga: Belajar dari Bom Surabaya

Luka batin bisa disembuhkan dengan komitmen yang kuat dari penderita dan dukungan dari orang-orang sekitarnya. Sekarang banyak layanan konseling atau konsultasi untuk membantu penyembuhan penderita luka batin. Selain menggunakan bantuan pihak ketiga, penderita luka batin juga bisa menyembuhkan luka itu sendiri. Prosesnya dikenal dengan istilah self-healing.

self-healing adalah proses sederhana dalam membantu menyembuhkan luka batin dengan melibatkan kekuatan diri secara penuh untuk beranjak dan bangkit dari penderitaan, tanpa bantuan siapa pun dan media apa pun. Karena pada dasarnya, setiap manusia memiliki kemampuan terapeutik (kekuatan menyembuhkan) bagi dirinya sendiri (pijarpsikologi.org).

Baca juga Fathu Makkah dan Spirit Perdamaian

Ketika terjerumus ke dalam suasana yang tidak menyenangkan, kita dihadapkan pada dua opsi; apakah tetap membiarkan kesedihan meliputi diri atau mengubah kesedihan itu menjadi kebangkitan. Tidak banyak yang sanggup memilih opsi kedua. Padahal, kita punya peran yang besar untuk mengubah suasana hati sendiri menjadi damai, dengan cara mengenali kesedihan yang bersemayam dalam kalbu. Ini dilakukan bukan untuk mengungkit-ungkit masalah yang membebani, melainkan untuk lebih memahami diri.

Setelah berhasil mengenali dan memahami, kita bisa mulai menerima faktor-faktor yang membuat kita bersedih, biasanya berkaitan dengan peristiwa yang menimpa kita. Penerimaan terhadap realita kehidupan akan mendorong kita untuk bisa berdamai dengan keadaan, serta memaafkan apa yang telah melukai hati.

Baca juga Belajar Perdamaian dari Islandia

Ada banyak metode yang bisa digunakan agar proses self-healing ini berhasil. Di antaranya adalah menikmati waktu “Me Time”. Jika masalah yang menghimpit terlalu berat, kita bisa menepi sejenak dari keramaian dalam rangka mencari ketenangan. Ini penting mengingat suasana yang tenang akan menyegarkan kembali suasana hati dan pikiran. Di samping itu, dengan meluangkan waktu untuk diri sendiri, kita bisa lebih banyak merenung dan merasakan hidup lebih bermakna.

Metode berikutnya yaitu berdialog dengan diri sendiri. Tanyakan kepada diri sendiri, mau sampai kapan akan larut dalam kesedihan? Apa yang kita dapatkan dengan terus menerus bersedih? Bisakah kesedihan tersebut mengembalikan hal-hal yang telah hilang di masa lalu? Selanjutnya bisa dikembangkan dengan pertanyaan lainnya. Alih-alih meratapi apa yang telah hilang, ajaklah diri untuk lebih memilih mensyukuri apa yang dimiliki.

Baca juga Tangguh Melawan COVID-19

Meratapi masa lalu hanya akan membuat kita jalan di tempat. Peratapan tidak memberikan manfaat apa pun bagi kehidupan kini maupun akan datang. Sudah sepantasnya kita menempatkan masa lalu pada tempatnya, karena ia tidak bisa diubah secuil pun. Masa lalu adalah bahan refleksi atau pembelajaran agar kita lebih memaknai kehidupan ke depan.

Ketika berhasil melakukan self-healing, maka kita akan bertransformasi menjadi pribadi yang tangguh. Pribadi yang menganggap masalah sebagai bagian dari permainan nasib yang sudah digariskan dan tidak dapat ditolak. Pribadi yang siap untuk kembali beraktivitas dan menjalani hidup setelah beberapa saat terpuruk. Pribadi yang kuat dan tegar, yang apabila kembali ditimpa masalah di kemudian hari, tidak menyurutkan langkahnya untuk tetap melangkah maju.

Baca juga Solidaritas di Tengah Pandemi: Belajar dari Korban Terorisme

Dari sekian banyak kisah inspiratif mengenai proses self-healing, salah satunya kita dapat belajar dari kisah para korban terorisme. Dampak dari aksi terorisme tidak hanya membekas pada fisik korban, melainkan juga psikis dan mental mereka. Adapun bagi korban tak langsung, mereka dirundung oleh kesedihan karena orang terkasih –suami, istri, ayah, ibu, anak, saudara– menjadi korban meninggal akibat serangan mematikan itu.

Seiring berjalannya waktu, para korban memilih berdamai dengan keadaan. Mereka ikhlas menerima peristiwa yang telah terjadi dan fokus menatap ke masa depan. Mereka bahkan memaafkan pelaku terorisme yang telah merenggut kebahagiaan mereka. Itu semua dilakukan setelah para korban banyak merenung dan berdialog dengan diri sendiri.

Para korban menyadari bahwa memendam luka batin terlalu lama tidak akan mengembalikan apa pun. Sebaliknya, mereka justru merasa semakin sakit. Oleh karenanya, para korban memutuskan untuk melepaskan emosi negatif yang bersemayam dalam hati, meskipun tentu membutuhkan waktu panjang. Efeknya luka batin yang mendera lambat laun sembuh.

Baca juga Membudayakan Perdamaian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *