Membangun Ketahanan Keluarga: Belajar dari Bom Surabaya
Rentetan ledakan bom menerjang Surabaya selama dua hari berturut pada 13-14 Mei 2018. Minggu pagi 13 Mei 2019, tiga gereja menjadi target serangan beruntun. Pada malam harinya, bom rakitan meledak di Rusunawa Wonocolo Sidoarjo. Selang sehari berikutnya, Markas Polrestabes menjadi sasaran serangan bom bunuh diri. Rangkaian peledakan tersebut masing-masing dilakukan oleh tiga pasangan suami istri dan anak-anaknya yang masih belia.
Sebagai korban, Wenny Angelina sangat terpukul dan sedih lantaran harus kehilangan dua putranya sekaligus, Evan (11 tahun) dan Nathan (8 tahun). Terlebih setelah Nathan, Wenny tidak dikaruniai anak lagi. Ia sendiri pun mengalami luka di sekujur tubuh. Namun ada hal lain yang tak kalah menyedihkan Wenny; kedua pelaku yang tewas dalam serangan di gerejanya masih berusia belasan tahun.
Baca juga Fathu Makkah dan Spirit Perdamaian
Menurut dia, seharusnya mereka masih asyik bermain bersama rekan sebayanya. “Anak-anak tersebut sesungguhnya tidak mengetahui apa yang mereka perbuat. Namun doktrin orang tua membentuk mereka menjadi korban dari kejamnya ideologi ekstrem,” kata Wenny kepada penulis.
Perasaan senada juga diungkapkan Yesaya Bayang, korban yang bekerja sebagai petugas keamanan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Surabaya. Salah satu hal yang masih sangat lekat dalam ingatannya dari peristiwa Minggu pagi itu adalah tatapan mata anak pelaku bom bunuh diri menjelang ledakan.
Baca juga Belajar Perdamaian dari Islandia
Pagi itu, seorang perempuan bercadar membawa dua anaknya yang masih kecil memasuki pelataran parkir GKI. Yesaya mencoba mencegah mereka. Saat itulah anak yang paling kecil melihatnya dengan tatapan memelas seolah meminta tolong agar aksinya dihentikan. Namun sesaat berikutnya terjadi ledakan yang menewaskan ketiga pengebom bunuh diri itu. Yesaya sedih karena anak kecil yang masih butuh bermain justru diajak bunuh diri.
Setiap orang tentu ingin membangun keluarga yang bahagia dan penuh kasih sayang. Namun realitanya, tidak semua keluarga memiliki pemahaman yang sama tentang kebahagiaan. Almarhum Dita Oepriarto dan istri (pelaku rangkaian teror bom gereja Surabaya), almarhum Tri Murtiono dan istri (pelaku serangaan Mapolrestabes), serta Almarhum Anton Ferdiantono dan istri (pelaku ledakan Rusunawa Sidoarjo) tampaknya memiliki pemahaman kebahagiaan yang ganjil.
Baca juga Tangguh Melawan COVID-19
Barangkali mereka menganggap bahwa kebahagiaan hanya dapat diperoleh dalam kehidupan setelah kematian. Sementara kematian terbaik adalah melalui jalan jihad atas nama Tuhan. Padahal menurut para agamawan, terorisme jelas bukan bagian dari jihad.
Kasus teror Bom Surabaya semakin meyakinkan penulis bahwa keluarga memainkan peran paling vital dalam proses tumbuh berkembangnya anak. Riset Joseph Nye menyatakan, keterikatan keluarga, seperti ikatan emosional di antara semua anggota keluarga memiliki hubungan yang kuat untuk menumbuhkan perilaku (Wahab, 2006: 247).
Baca juga Solidaritas di Tengah Pandemi: Belajar dari Korban Terorisme
“Kekompakan” keluarga Dita dalam melakukan serangan teror adalah hasil dari ikatan emosional yang kuat. Tali tersebut semakin kokoh setelah diikat dengan indoktrinasi jihad ala kelompok ekstremis. Beberapa media massa memberitakan, pagi hari setelah menunaikan shalat subuh berjamaah, ada tetangga yang menyaksikan keluarga Dita berpelukan erat satu sama lain sambil menangis. Ternyata tak lama kemudian mereka melakukan aksi bom bunuh diri nyaris serentak.
Mengutip situs globalpeace, perdamaian adalah cara pandang dan cara hidup. Semua hal tersebut terbentuk dalam keluarga. Dalam keluarga kita membentuk nilai-nilai, karakter, dan pendekatan kita dalam berhubungan dengan orang lain maupun diri sendiri.
Baca juga Membudayakan Perdamaian
Penulis membayangkan, seandainya ikatan emosional yang kuat seperti ditunjukkan oleh keluarga Dita dapat diadopsi oleh keluarga-keluarga lain di seluruh Indonesia, namun tentunya digunakan untuk hal-hal yang positif. Sebagai misal, dalam konteks sekarang adalah keluarga secara kompak membantu orang-orang yang terdampak pandemi Covid-19.
Keluarga adalah ruang paling awal untuk menanamkan nilai-nilai perdamaian, tentunya setelah terbangun ikatan emosional yang kuat. Ikatan keluarga yang kuat adalah benteng pertahanan tangguh bagi anak-anak untuk menangkal ajaran-ajaran negatif yang datang dari pergaulan di luar rumah.
Baca juga Makna Perdamaian
Mengutip pernyataan Wenny, para orang tua semestinya sejak dini menanamkan ajaran kasih ke anak-anak, mendidik, serta selalu mendampingi mereka agar menjadi pribadi yang baik. Pribadi anak akan tecermin dari kehidupan keluarga.
Dari keluarga pula setiap individu diajarkan tentang arti kebahagiaan dan saling mencintai secara utuh dalam keluarga dan antarsesama. Ketika sudah belajar mengasihi, mencintai, memaafkan, berempati, dan bertanggung jawab dari kehidupan keluarga, maka ajaran kekerasan dengan sendirinya akan mudah dimentahkan.
Baca juga Pandemi dan Semangat Berbagi