Refleksi 2 Tahun ‘Peristiwa Iman’ 13 Mei 2018
Artikel ini ditulis oleh Desmonda Paramartha salah satu Korban Bom Surabaya 2018.
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. 2 tahun sudah ‘Peristiwa Iman’ itu berjalan. Banyak hal yang tak terlupakan dari peristiwa tersebut. Mungkin bagi banyak orang yang tidak terdampak, melihat peristiwa tersebut hingga saat ini merasa biasa saja, tetapi bagiku sendiri sebagai korban dan saksi secara langsung, peristiwa tersebut adalah ‘Peristiwa Iman’ yang sangat luar biasa dan tak akan aku lupakan selama hidupku nantinya.
Baca juga Dua Tahun Bom Surabaya: Ikhlas Obat dari Segala Obat
Masih teringat jelas bagaimana keadaan sebelum maupun saat kejadian itu berlangsung. Shock? Jelas, sangat shock dan tidak percaya peristiwa itu terjadi. Tetapi itu sudah sebuah ‘Peristiwa Iman’ yang sangat mengagetkan seluruh masyarakat Surabaya.
Tak mudah memang menerima peristiwa itu secara cepat dan langsung, tetapi bagaimana pun itu merupakan peristiwa untuk saya dan para korban, terutama agar bisa memaafkan mereka (pelaku) atas kejadian yang telah diperbuatnya secara bersamaan di tiga gereja sekaligus (SMTB-Ngagel, GKI-Diponegoro, GPPS-Arjuna).
Baca juga Berdamai dengan Kekhawatiran
Banyak sekali hal yang aku dapatkan setelah peristiwa tersebut. Pertama, bukan saya atau kami yang menjadi korban melainkan juga pelaku sendiri sebagai korban pemahaman pembelajaran agama yang mereka (pelaku) dapatkan dari teman maupun guru-guru mereka.
Kedua, semua agama pasti mengajarkan kebaikan. Tidak ada agama yang mengajarkan kebencian. Ketiga, memaafkan itu memang sulit tetapi lebih baik memaafkan daripada menyimpan benci atau dendam terhadap pelaku.
Baca juga Wenny Angelina Tegar Walau Bom Telah Renggut 2 Anaknya
Puji Tuhan, sampai saat ini saya bisa memaafkan mereka (pelaku) dan sudah tidak memiliki trauma. Kalau diminta cerita dengan detail sampai sekarang pun masih ingat jelas. Tidak menutup kemungkinan ‘Peristiwa Iman’ tersebut akan saya ingat selalu.
Beberapa kali saya dimintai tolong untuk menyampaikan pesan perdamaian di media massa maupun di hadapan teman-teman mahasiswa. Saya selalu menyampaikan bahwa kalau saya tidak segera memaafkan apa yang telah mereka (pelaku) perbuat, maka mereka merasa berhasil telah membuat kami (korban) merasa tersakiti dengan apa yang telah mereka perbuat terhadap kami.
Baca juga Mengajak Korban Lain Memaafkan
Memang tidak mudah dan membutuhkan waktu tetapi itu harus dilakukan. Bagaimanapun itu keadaannya, mereka (pelaku) juga sebagai korban pengetahuan, bukan korban secara fisik.
Saya ingin menyampaikan sedikit pesan kepada semua yang membaca refleksi saya ini. Mari kita membuka wawasan kita untuk belajar memahami bahwa semua agama itu mengajarkan kebaikan dan kasih. Tidak ada agama yang mengajarkan kebencian kepada umatnya.
Surabaya, 12 Mei 2020