15/05/2020

Korban Terorisme (Tak) Menunggu Godot

Oleh: M. Syafiq Syeirozi
Program Manager Rehabilitasi AIDA.

Godot adalah tokoh fiktif dalam pementasan drama karya Samuel Beckett dari Irlandia pada tahun 1952. Vladimir dan Estragon setia menunggu Godot. Kedua sahabat itu sejatinya tidak tahu siapa Godot dan sampai kapan harus menunggu. Hingga keduanya lanjut usia, beruban, dan akhirnya meninggal dunia, Godot tak pernah datang. Drama pun berakhir tanpa pernah menghadirkan sosok Godot kecuali dalam imajinasi para aktor dan penontonnya.

Kompensasi korban terorisme nyaris saja menjadi sosok Godot. Hak korban ini telah diatur dalam Perppu No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang ditetapkan menjadi UU No. 15/2003. Sejak beleid itu diundangkan, aksi terorisme berulang kali terjadi di bumi pertiwi. Banyak nyawa tak bersalah terenggut akibat aksi brutal itu, sementara sebagian korban selamat bahkan harus mengalami disabilitas.

Baca juga Memuliakan Rumah Ibadah

Namun amanat kompensasi baru terimplementasikan pada akhir 2017. Negara melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan kompensasi kepada 7 orang korban Bom Samarinda sebagai pelaksanakan amar putusan PN Jakarta Timur yang mengadili para pelaku teror Bom Samarinda, September 2017.

Selanjutnya Negara kembali menunaikan hak kompensasi kepada 17 korban terorisme atau ahli warisnya (13 orang korban Bom Thamrin, 3 orang korban Bom Kampung Melayu, dan 1 orang korban penyerangan Mapolda Sumatera Utara) pada awal September 2018.

Seluruh putusan kompensasi korban terorisme tersebut masih mengacu pada UU No. 15/2003. Artinya, selama 15 tahun lebih diberlakukan, amanat kompensasi baru terlaksana untuk para korban dari empat peristiwa tindak pidana terorisme. Padahal dalam catatan saya, dalam rentang waktu tersebut terjadi sekurangnya 12 kali aksi terorisme yang menimbulkan banyak korban, tidak termasuk serangan-serangan tunggal terhadap personil kepolisian.

Baca juga Salahuddin al-Ayubi: Panglima Tempur Pencinta Damai

Pada Juni 2018, Presiden Joko Widodo mengesahkan UU No. 5/2018 yang merevisi UU No. 15/2003. Setelah beleid ini diundangkan, Negara beberapa kali menunaikan hak kompensasi kepada korban dari sejumlah aksi terorisme di Indonesia, antara lain korban Bom Surabaya yang peristiwanya terjadi tepat dua tahun silam. Pada Maret 2019, PN Jakarta Barat memutuskan kompensasi bagi 17 orang korban Bom Surabaya. Putusan itu tertuang dalam amar vonis hukuman terdakwa Syamsul Arifin alias Abu Umar.

Saat membayarkan kompensasi kepada para korban pada Mei tahun lalu, ketua LPSK, Hasto Atmojo mengungkapkan, jumlah korban Bom Surabaya yang mendapatkan kompensasi bisa bertambah (medcom.id, 15/05/2019). Kepada saya, salah seorang korban mengaku terlambat mengajukan kompensasi dan berharap dapat memerolehnya di periode selanjutnya.

Baca juga Strategi Jihad Covid-19 (Bag. 1)

Karena bom Surabaya terjadi sebelum UU No. 5/2018 ditetapkan, semestinya dapat mengikuti mekanisme pengajuan kompensasi korban lama. Pasal 43 L ayat 1 menyatakan, korban langsung yang diakibatkan dari peristiwa terorisme lama (sebelum UU mulai berlaku) dan belum mendapatkan kompensasi, berhak mengajukan permohonan kompensasi kepada LPSK. Salah satu syarat pengajuan adalah adanya surat penetapan korban dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Setelah memenuhi syarat, kompensasi dapat diberikan oleh LPSK.

Sebelumnya nominal  kompensasi dihitung dan ditetapkan oleh LPSK setelah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan. Mekanisme pemberian kompensasi untuk korban lama tidak melalui pengadilan tetapi cukup berdasarkan asesmen LPSK. Ketentuan ini diharapkan dapat memenuhi cita keadilan seluruh korban terorisme di Indonesia.

Baca juga Strategi Jihad Covid-19 (Bag. 2-Terakhir)

Hal yang mengkhawatirkan dalam ketentuan kompensasi bagi korban lama adalah tenggat waktu permohonan, yakni diajukan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak UU ini ditetapkan (pasal 43L ayat 4). Artinya deadline pengajuan kompensasi bagi korban bom lama adalah Juni 2021. Sementara pada ayat 7 pasal 43L dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengajuan permohonan korban lama serta pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).

Hingga kini tak ada kejelasan kapan PP akan terbit. Padahal UU No. 5/2018 memberikan tenggat waktu penerbitan PP hingga Juni 2019 (pasal 46B). Artinya telah molor hampir 2 tahun dari waktu yang ditargetkan. Jika tak kunjung terbit, maka amanat kompensasi bagi korban lama dalam UU terorisme versi revisi ini terancam sia-sia belaka.

Baca juga Momentum Pemenuhan Hak Korban Terorisme

Isi PP harus mengatur dasar-dasar penghitungan nominal kompensasi yang rasional dan berkeadilan bagi para korban. Kompensasi adalah isu yang agak sensitif sebab menyangkut anggaran Negara. Karena itu juga perlu memertimbangkan sisi kemampuan Negara dalam membayarkan kompensasi kepada korban terorisme lama. Maka harus ada win-win solution bagi pemerintah dan korban terorisme.

Setidaknya sejak peristiwa Bom Bali 2002 –yang mendorong pemerintah menerbitkan Perppu No. 1/2002— ada ratusan korban terorisme di Indonesia yang sama sekali belum pernah mengajukan/mendapatkan kompensasi lantaran terkendala banyak faktor. UU versi revisi memberikan secercah asa namun terganjal keberadaan aturan turunan. Maka tak ada kata lain; PP harus segera terbit agar para korban terorisme tak menunggu godot.

Baca juga Pandemi Covid-19 dan Tafsir Dukhan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *