Tradisi Bermaafan Cikal Perdamaian
Oleh: M. Syafiq Syeirozi
Program Manager Rehabilitasi AIDA
Idulfitri kali ini terasa ganjil. Sejumlah ritual tradisi khas bangsa kita “terpaksa” dihilangkan sementara waktu lantaran pandemi Covid-19. Bersalaman setelah shalat Idulfitri untuk bermaafan tak ada. Mengunjungi rumah saudara, kerabat dan handai tolan kebanyakan diganti secara virtual. Apa pun situasinya, karena pandemi tak mengenal Idulfitri, semestinya kita tetap tak boleh kehilangan ruh dari tradisi mulia itu.
Boleh jadi menurut sebagian kalangan, tradisi tersebut tak memiliki jangkar keagamaan secara tekstual. Terlebih sebagaimana perintah Nabi Muhammad Saw, jika kita berbuat kesalahan kepada orang lain, maka harus segera meminta maaf hari itu juga, tak perlu menunggu esok, lusa, bahkan hari raya Idulfitri.
Baca juga Idulfitri Tak Kenal Pandemi
“Barangsiapa yang berbuat kezaliman kepada saudaranya dalam hal apa pun, maka pada hari itu pula ia wajib meminta kepada saudaranya agar perbuatannya tersebut dihalalkan, sebelum datang hari saat tidak ada ada dinar dan dirham (kiamat). Jika orang tersebut memiliki amal salih, amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi kezalimannya. Namun, jika ia tidak memiliki amal salih maka ditambahkan kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zalimi (HR. Bukhari: 2449).
Namun bagi sebagian orang, meminta maaf terkadang menjadi perbuatan amat berat karena pelbagai alasan. Karena itulah Idulfitri membuka peluang besar bagi sebagian orang untuk menurunkan ego dan gengsi kediriannya.
Baca juga Kemenangan Sejati Korban Terorisme
Apalagi bila berniat menyempurnakan ibadah puasa yang telah dilakukannya sebulan penuh. Sebab sebagaimana hadis Nabi, puasa Ramadan yang dilakukan secara tulus ikhlas dapat menghapuskan seluruh dosanya di masa lalu. Tetapi tentu saja selain dosa adamy (kemanusiaan).
Atas dasar itulah umat muslim di pelbagai belahan dunia mentradisikan bermaafan dalam perayaan Idulfitri. Setiap tradisi baik dapat menjadi landasan hukum. “Al-adatu muhakkamatun (adat itu bisa menjadi hukum),” demikian salah satu bunyi kaidah pokok dalam fiqh Islam. Kaidah ini bersandarkan pada perkataan sahabat Abdullah Ibnu Masúd RA “Sesuatu (tradisi) yang dipandang baik oleh umat muslim, maka Allah akan memandangnya sebagai kebaikan pula” (Jalaluddin al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair fi al-Furu’i, hal.63).
Baca juga Membangun Damai Berbasis Kearifan Lokal (Bag. I): Kesadaran tentang Keberagaman
Tak heran, di negeri kita, menjelang Idulfitri banyak orang di perantauan rela menempuh perjalanan mudik yang melelahkan dan menelan biaya cukup besar. Semuanya demi bisa berkumpul dan bermaafan dengan saudara dan kerabatnya di kampung halaman.
Tradisi bermaafan seyogyanya melampaui ritual tahunan. Ia bisa menjadi gerakan yang langgeng. Bayangkan jika setiap saat orang berkenan menaklukkan gengsi kediriannya untuk meminta maaf saat berbuat salah, dan sebaliknya dengan legawa memberikan maaf. Tak akan ada konflik yang bertahan lama, apalagi berujung pada kekerasan.
Baca juga Membangun Damai Berbasis Kearifan Lokal (Bag. II): Satu Tungku Tiga Batu Papua
Bermaafan adalah cikal bakal perdamaian. AIDA –lembaga di mana penulis bekerja— telah membuktikan hal itu. Tim Perdamaian AIDA terdiri dari dua pihak yang sejatinya berada dalam posisi berseberangan: korban terorisme dan mantan pelaku terorisme/ekstremisme kekerasan. Tentu melalui proses yang tak mudah hingga kedua belah pihak lantas bahu-membahu mengampanyekan perdamaian kepada khalayak luas. Namun kunci yang membuka proses itu adalah kesanggupan untuk bermaafan.
Baca juga Korban Terorisme (Tak) Menunggu Godot
Mantan pelaku –dengan kerendahan hati dan keinsafan bahwa perbuatan masa lalunya adalah kesalahan– meminta maaf kepada para korban terorisme. Sementara para korban yang telah menderita karena cedera fisik –bahkan sebagian harus mengalami disabilitas— atau kehilangan sosok-sosok terkasihnya, secara legawa memaafkan para mantan pelaku.
Tentu saja butuh kebesaran jiwa dan ketangguhan mental untuk sampai pada titik tersebut. Toh semuanya bisa dilakukan. Bangsa kita punya bekal tradisi mulia untuk menjadi pionir perdamaian dunia.
Akhirul kalam, selamat hari raya Idulfitri 1441 Hijriah. Mohon maaf atas segala kesalahan lisan, tindakan, dan tulisan.
Baca juga Memuliakan Rumah Ibadah