Idulfitri Tak Kenal Pandemi
Oleh: Ahmad Hifni
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gema takbir menandai perayaan hari raya Idulfitri 1441 H bagi umat Islam di seluruh dunia. Ada rasa suka sekaligus duka. Idulfitri yang dinantikan telah datang, sementara kekhusyukan puasa dan seluruh rangkaian ibadah Ramadan telah berlalu. Pada momen ini, saatnya kita kembali fitrah, yakni menjadi pribadi pemaaf, suci, dan bersih dengan meningkatkan kualitas iman dan akhlak mulia serta menebar kebaikan bagi sesama.
Apa pun yang terjadi kita harus tetap bersyukur. Perayaan Idulfitri di tengah pandemi menjadikan lebaran tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Perbedaan sudah terasa sejak bulan Ramadan, di mana tidak ada kemeriahan shalat tarawih berjamaah, buka puasa bersama, iktikaf di masjid, bahkan mungkin tidak ada suasana kemeriahan shalat Idulfitri.
Baca juga Kemenangan Sejati Korban Terorisme
Kita tidak lagi menyaksikan berjuta-juta umat Islam menuju masjid dan tanah lapang. Tradisi saling mengunjungi sanak-saudara dan kerabat dekat dengan tujuan berbagi kebahagiaan dan silaturahim sementara waktu tidak dilakukan.
Sebagian tradisi perayaan Idulfitri benar-benar berubah seiring pencegahan penyebaran wabah. Namun bagi seorang muslim yang kalbunya terasah selama bulan Ramadan, makna dan keistimewaan Idulfitri tidak akan berubah kendati dalam situasi krisis dan sulit.
Baca juga Membangun Damai Berbasis Kearifan Lokal (Bag. I): Kesadaran tentang Keberagaman
Pada momen Idulfitri kita diingatkan untuk kembali kepada kemanusiaan yang wajar, sebagaimana seseorang lahir di dunia sebagai bayi yang suci dari dosa-dosa, kullu mauludin yuladu alal fitrah (setiap manusia lahir ke muka bumi dalam keadaan suci). Seorang “bayi” melambangkan manusia yang suci, tulus, ikhlas, dan disukai setiap orang. Kehadirannya membawa atmosfer kebahagiaan kepada kedua orang tua dan segenap keluarganya.
Idulfitri sejatinya membangkitkan kesadaran religius agar setiap kita kembali kepada fitrah seorang bayi tersebut. Itu hanya dimungkinkan ketika kita mampu menjalin persaudaraan dengan sesama. Dalam kondisi pagebluk, kita tetap dianjurkan untuk mengucapkan permohonan maaf minal ‘aidin wal faizin kepada orang tua, anak, keluarga, sanak kerabat, tetangga serta teman sejawat, meski secara virtual.
Baca juga Membangun Damai Berbasis Kearifan Lokal (Bag. II): Satu Tungku Tiga Batu Papua
Ketulusan dari ungkapan itu sesungguhnya memantulkan makna jalinan perdamaian dan persaudaraan dengan sesama. Maka 1 Syawal pun menjadi hari kemenangan bagi orang-orang yang memiliki nurani dan kasih sayang. Kita berintrospeksi terhadap tindakan-tindakan selama setahun terakhir dengan saling meminta dan memberikan maaf pada sesama. Barangkali, pernah ada lontaran kata atau tindakan yang tidak disengaja telah melukai orang lain.
Saling memaafkan merupakan ajaran luhur yang sangat ditekankan dalam agama Islam. Setiap saat kaum muslimin harus mengindahkan ajaran ini tanpa memandang hari dan momen tertentu, tidak terbatas saat Idulfitri. Sebagaimana pemaafan korban bom terorisme terhadap pelakunya. Mereka tidak menunggu momen tertentu untuk menjadi pemaaf. Spirit pemaafan selalu muncul dari kekuatan nurani yang tumbuh dari jiwa-jiwa yang suci. Pemaafan dapat mengubur kebencian yang bisa memutuskan kasih sayang (Qath’ul Rahim).
Baca juga Korban Terorisme (Tak) Menunggu Godot
Ketulusan korban bom tidak hanya sekadar memaafkan saja, melainkan muncul dari kesadaran empati untuk menciptakan persatuan. Dalam surat al-A’raf ayat 199 disebutkan, “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh“. Dengan kesediaan meminta dan memberikan maaf, di antara mereka (korban dan mantan pelaku) lalu bahu-membahu membangun aliansi untuk mengupayakan perdamaian bagi orang lain.
Sejalan dengan makna substantif Idulfitri, yakni kembali ke kondisi alamiah fitrah manusia, maka hakekat kesucian itu juga muncul dari mantan pelaku terorisme yang benar-benar memilih insaf dari jalan kekerasan. Mereka terlahir kembali ibarat seorang bayi yang baru muncul di muka bumi. Inilah yang menjadi hikmah mengapa Al-Qur’an tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi juga lebih dari itu yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan kepadanya.
Baca juga Memuliakan Rumah Ibadah
Bukan memaafkan namanya jika masih tersisa bekas luka dan ada dendam yang membara di dalam hati. Boleh jadi ketika itu apa yang dilakukannya baru sampai pada tahap menahan amarah. Artinya, jika manusia mampu berusaha menghilangkan segala noda atau bekas luka di hatinya, maka dia baru bisa dikatakan telah memaafkan orang lain atas kesalahannya.
Gemuruh takbir yang kita dengar di mana-mana pada momen lebaran ini, semoga bisa membangkitkan kesadaran tentang keagungan Allah dan membawa kita menjadi pribadi pemaaf. Dengan begitu hari raya Idulfitri bisa kita rayakan dengan menebarkan senyum dan berbagi kebahagiaan bagi sesama. Selamat berlebaran, mohon maaf lahir dan batin.
Baca juga Salahuddin al-Ayubi: Panglima Tempur Pencinta Damai