01/07/2020

Tenggat Pengajuan Kompensasi Korban Terorisme Tinggal Setahun, Pemerintah Didorong Terbitkan PP

Aliansi Indonesia Damai- Pemerintah diharapkan segera menerbitkan PP turunan Undang-Undang Nomor 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sebab, batas waktu pengajuan kompensasi bagi korban terorisme sebelum 2018 tinggal setahun.

Korban terorisme masa lalu hingga kini belum bisa mengajukan permohonan kompensasi karena belum ada peraturan pemerintah turunan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Padahal, UU itu juga memberi batasan waktu pengajuan kompensasi bagi korban terorisme sebelum UU tersebut terbit maksimal tiga tahun sejak UU disahkan, yakni paling lambat Juni 2021.

Oleh karena itu, pemerintah diharapkan segera menerbitkan peraturan pemerintah (PP) turunan UU No 5/2018. Desakan ini disampaikan Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Hasibullah Satrawi, Selasa (30/6/2020), seusai diskusi kelompok terfokus secara daring. Hasibullah mengatakan, sesuai UU No 5/2018, disebutkan korban merupakan tanggung jawab negara.

Baca juga Percepat Penerbitan PP Pemenuhan Hak Korban

Namun, beberapa aturan dalam UU tersebut hanya bisa terimplementasikan jika sudah ada peraturan pemerintah sebagai aturan turunan. Hingga kini, PP yang dimaksud belum diterbitkan. Padahal Pasal 46B UU No 5/2018 memberikan tenggat penerbitan PP hingga setahun sejak UU disahkan, atau Juni 2019.

Korban bisa mengajukan kompensasi lewat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Hanya saja, ada tenggat  pengajuan kompensasi bagi para korban terorisme yang terjadi sebelum tahun 2018, yaitu paling lambat tiga tahun sejak UU No 5/2018 itu disahkan. Sementara syaratnya akan diatur di PP. ”Sampai sekarang, PP-nya belum ada,” kata Hasibullah.

Baca juga Menagih Kehadiran Negara untuk Korban Lama (Bag. 1)

Korban bisa mengajukan kompensasi lewat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Hanya saja, ada tenggat pengajuan kompensasi bagi para korban terorisme yang terjadi sebelum tahun 2018, yaitu paling lambat tiga tahun sejak UU No 5/2018 itu disahkan. Sementara syaratnya akan diatur di PP.

Edwin Partogi Pasaribu, Wakil Ketua LPSK, mengatakan, pembahasan tentang PP itu sudah tuntas pada akhir Desember 2019. LPSK juga terlibat aktif dalam PP yang membahas tentang kompensasi, restitusi, dan bantuan untuk korban. Sudah ada gambaran tentang kompensasi untuk korban terorisme di masa lalu, yaitu sebelum UU No 5/2018 disahkan.

Baca juga Menagih Kehadiran Negara untuk Korban Lama (Bag. 2)

”Kami sudah diskusikan dengan Kemenkeu tentang skema kompensasi. Namun, masih menunggu PP terbit,” kata Partogi.

Menurut dia, pembahasan terakhir dilakukan pada 10 Desember 2019 atas undangan Sekretariat Negara. Pertemuan dihadiri berbagai pemangku kebijakan dari kementerian dan lembaga. Hanya saja, menurut dia, masih ada perdebatan karena ada pertanyaan dari Kejaksaan, apakah kompensasi diberikan setelah keputusan hukum dari pengadilan atau setelah keputusan ini berlangsung tetap.

Edwin mencatat, ada 489 korban terorisme. Adapun total kompensasi yang sudah disalurkan untuk 46 orang mencapai Rp 4,281 miliar, terhitung hingga Februari 2020.

Baca juga Kompensasi dalam Etika Keadilan

”Kami akan terus perjuangkan ini. Kami optimistis kalau sampai ke Presiden, akan langsung ditandatangani PP-nya,” kata Hasibullah.

Sementara itu, Sucipto Hari Wibowo dari Yayasan Penyintas Indonesia, yaitu yayasan untuk para korban aksi terorisme, mengatakan, untuk mendapatkan kompensasi, korban harus berjuang lama. Kompensasi secara materi memang akan sangat membantu korban. Akan tetapi, secara moral kompensasi ini juga menunjukkan kepedulian negara terhadap korban yang menanggung musibah karena kekerasan terorisme.

”Kompensasi membantu mentalitas korban bahwa negara hadir sehingga korban bisa jadi penyintas. Makin lama menderita, makin terpuruk,” kata Cipto.

Baca juga Korban Terorisme (Tak) Menunggu Godot

Kompensasi membantu mentalitas korban bahwa negara hadir sehingga korban bisa jadi penyintas. Makin lama menderita, makin terpuruk.

Cipto mengakui, jumlah korban terorisme tidak terdata dengan baik. Jumlah korban yang terdata di YPI adalah 86 orang, tetapi yang baru mendapat kompensasi hanya korban bom Thamrin, Jakarta, dan sebagian korban serangan terorisme di Kampung Melayu, Jakarta.

Cipto mengatakan, data sulit terkumpul karena ada korban yang memang ingin menghindari semua hal terkait terorisme karena trauma. Namun, Partogi mengatakan, hal ini juga disebabkan karena tidak ada lembaga yang sejak awal ditentukan untuk memverifikasi data korban. Apalagi, data di rumah sakit banyak yang hilang. Tugas itu sekarang dipegang oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

*Artikel ini telah dimuat di Kompas.ID, Kamis 30 Juni 2020
sumber klik disini

Baca juga Momentum Pemenuhan Hak Korban Terorisme

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *