Menagih Kehadiran Negara untuk Korban Lama (Bag. 1)
Oleh: Fasihah Lazimah
Mahasiswi Pascasarjana Universitas Nasional Jakarta
Aliansi Indonesia Damai- Tepat dua tahun lalu pemerintah mengesahkan Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 yang salah satu isinya mengatur pemenuhan hak-hak korban terorisme. Namun Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur mekanisme pemberian hak-hak bagi korban terorisme lama (peristiwanya sebelum UU tersebut disahkan) tak kunjung menemui titik terang penerbitannya.
Padahal UU tersebut mengamanatkan penerbitan PP paling akhir di bulan Juni 2019. Ketentuan ini sebenarnya masih cukup problematik. Pasalnya tenggat waktu untuk pengajuan kompensasi, rehabilitasi medis, psikis, dan psikososial bagi korban terorisme lama adalah tiga tahun sejak UU tersebut disahkan. Artinya bila PP sudah ada, maka pengajuan hanya bisa dilakukan sampai bulan Juni 2021.
Baca juga PP Hak Korban Terorisme Harus Lekas Terbit
Sementara di luar sana, dampak terorisme pada diri korban masih mereka rasakan hingga kini. Secara kuantitas, korban terorisme lama begitu banyak jumlahnya. Sebagian besar belum mendapatkan hak-haknya. Padahal persidangan pelaku terornya telah usai. Mereka harus menanggung sendiri dampak psikis, psikososial, dan ekonomi.
Fakta di lapangan menunjukkan, tak sedikit dari korban langsung ledakan bom mengalami disabilitas, di mana organ tubuhnya tidak bisa kembali berfungsi dengan normal seperti sediakala. Tidak sedikit pula dari mereka yang masih harus mengonsumsi obat-obatan. Banyak dari mereka yang terpaksa harus membiayai pengobatannya sendiri. Masalahnya lagi, selama dalam masa perawatan itu mereka tidak lagi dapat bekerja.
Baca juga Mendorong Terobosan Pemenuhan Hak Korban Lama
Korban Bom Kedubes Australia 2004, Sarbini misalnya. Ia adalah seorang kepala keluarga di mana pada saat kejadian tengah bekerja mencari nafkah untuk keluarga kecilnya. Akibat ledakan itu, ia mengalami luka yang amat parah, terutama di bagian kepala sehingga tidak bisa lagi bekerja. Biaya tindakan medis awal berasal dari bantuan Pemprov DKI. Namun untuk pengobatan selanjutnya yang berlangsung selama 6 tahun, Sarbini terpaksa harus membiayai pengobatan itu sendiri dengan berhutang. Karena besarnya hutang, Sarbini terpaksa harus menjual rumah satu-satunya yang ditempati bersama keluarganya.
Pun demikian yang dialami oleh Yunik. Sebelum musibah itu terjadi ia adalah pemilik usaha katering yang melayani makan siang untuk karyawan sebuah perusahan yang berkantor tak jauh dari gedung Kedubes Australia. Akibat ledakan bom tersebut, Yunik mengalami fraktur parah pada tulang telapak tangannya hingga nyaris diamputasi. Semua catatan pembelian dari pelanggan pun hilang pada saat kejadian. Walhasil usaha catering Yunik terpaksa gulung tikar.
Baca juga Kompensasi dalam Etika Keadilan
Pada saat bersamaan, karena terlalu seringnya suami Yunik absen dari pekerjaan untuk mendampinginya berobat, sang suami harus dipindahtugaskan ke posisi pekerjaan dengan gaji yang lebih rendah. Karena gaji sudah tidak lagi mencukupi kebutuhan hidup mereka, tak lama kemudian suami Yunik memutuskan keluar dari pekerjaan dan berjuang merintis usaha sendiri.
Terpaksa berhenti dari pekerjaan lantaran musibah bom juga dialami oleh Ruli Anwari. Ia menjadi korban bom bersama istrinya saat hendak melakukan akad kredit rumah di sebuah bank yang bersebelahan dengan gedung Kedubes Australia. Dampak bom tersebut semakin memerlemah fisiknya bahkan setelah 10 tahun berlalu. Hal itu memaksanya untuk berhenti berkarir sebagai engineer dan merintis usaha baru bersama keluarga.
Baca juga Korban Terorisme (Tak) Menunggu Godot
Nasib lebih beruntung Sudirman A. Talib, pekerja kantor Kedubes Australia yang menjadi korban bom. Serpihan bom masuk ke dalam bola mata kirinya. Mata kirinya tak terselamatkan sehingga harus diganti dengan bola mata palsu. Beruntungnya, seluruh pengobatan Sudirman ditanggung oleh kantor tempatnya bekerja. Meskipun mengalami perawatan yang lama, Sudirman masih tetap bisa bekerja di kantor tersebut. (Bersambung)
Baca juga Momentum Pemenuhan Hak Korban Terorisme