Menagih Kehadiran Negara untuk Korban Lama (Bag. 2)
Oleh: Fasihah Lazimah
Mahasiswi Pascasarjana Universitas Nasional Jakarta
Sungguh miris. Bagaikan terjatuh masih harus tertimpa tangga. Selain harus merasakan sakit yang luar biasa dan menjalani perawatan yang lama, para korban terorisme bahkan masih harus menerima kesulitan ekonomi yang turut mencekik akibat biaya pengobatan secara mandiri. Tak sedikit pula dari mereka yang pada akhirnya sulit mendapatkan pekerjaan karena kondisi fisik yang tak lagi prima. Hal ini tentu saja akan sangat mempengaruhi kehidupan para korban terorisme di masa depan.
Para korban di atas hanyalah sebagian kecil dari begitu banyak kisah-kisah pilu korban terorisme lama yang belum mendapatkan hak-haknya hingga sekarang. Sejumlah korban terorisme yang relatif “cukup” beruntung adalah mereka yang bekerja di sektor pemerintahan. Karena mereka mendapatkan penghargaan dalam pelbagai bentuk dari instansinya.
Baca juga Menagih Kehadiran Negara untuk Korban Lama (Bag. 1)
Sebagai misal Briptu Ilham Suhayar, seorang polisi korban serangan teroris di depan Bank Syariah Mandiri Kabupaten Poso, bulan April lalu. Melalui Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/205/IV/KEP/2020, tanggal 30 April 2020, Briptu Ilham mendapatkan kenaikan pangkat luar biasa setingkat lebih tinggi dari pangkat Briptu ke pangkat Brigpol. Negara menganggap kenaikan pangkat tersebut sudah sepantasnya ia terima karena telah bertaruh nyawa dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang petugas keamanan.
Dalam hemat penulis, hendaknya negara tidak membeda-bedakan perlakuannya terhadap para korban terorisme. Seluruh korban Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali, baik yang bekerja di sektor perusahaan profit, non-profit, maupun di lembaga-lembaga negara, semuanya berhak mendapatkan perlindungan dan hak-hak yang sama dari negara. Karena pada dasarnya korban terorisme merupakan martir bagi negara.
Baca juga Media Sosial sebagai Sarana Perdamaian
Mereka sesungguhnya adalah korban dari kegagalan negara di dalam menjamin keselamatan dan keamanan masyarakat sehingga harus terdampak akibat serangan terorisme yang sebenarnya ditujukan kepada negara itu sendiri. Maka dari itu, jaminan negara untuk melindungi korban dan memenuhi hak-haknya adalah sebuah keniscayaan.
Mandat dari pelaksanaan Undang-Undangan (UU) Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belum juga diimplementasikan secara baik. Artinya, negara sampai hari ini belum hadir bagi para korban aksi terorisme lama.
Baca juga Agen Sosialisasi Perdamaian