16/02/2021

Kala Penyintas Bom Memerjuangkan Hak Asuh

Aliansi Indonesia Damai- “Setelah kejadian itu, Ibu tidak bisa melukiskan perasaan Ibu seperti apa. Hanya bengong, tidak bisa berpikir apa-apa.” Demikian Nyoman Rencini mengenang suasana batin dirinya usai kehilangan suami tercinta akibat peristiwa Bom Bali, Oktober 2002.

Suaminya, Ketut Sumerawat, bekerja sebagai sopir salah satu restoran di kawasan Legian Kuta Bali. Ia sempat dinyatakan hilang karena tidak pulang dan absen bekerja selama 2 hari usai peristiwa ledakan bom. Namun dua bulan setelahnya, melalui tes DNA, jenazah Sumerawat berhasil teridentifikasi. Jasadnya nyaris tak dapat dikenali lagi.

Baca juga Bangkit Karena Rasa Tanggung Jawab (Bagian I)

Peristiwa duka itu membuat Rencini sangat terpuruk. Namun perlahan ia menyadari bahwa yang telah pergi tak akan pernah kembali. Kematian suaminya adalah kehendak Tuhan yang tak terhindarkan. Karena semua makhluk yang ada di dunia ini pasti akan kembali ke haribaan Tuhan Sang Pencipta. Ia berupaya mengikhlaskan kepergian sang suami, meski kala itu ketiga putri mereka yang masih sangat belia sangat membutuhkan sosoknya.

Ujian hidup Rencini tak berhenti di situ. Keluarga dari pihak suami meminta hak asuh ketiga buah hatinya. Pasalnya mereka meragukan kemampuan Rencini membesarkan ketiganya. Namun permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Rencini.

Baca juga Bangkit Karena Rasa Tanggung Jawab (Bagian II)

”Saya sebagai orang tua merasa sakit sekali. Baru saja saya kehilangan suami, saya hampir kehilangan ketiga putri saya, karena dianggap tidak mampu membesarkan mereka. Dari sanalah tumbuh tekad saya untuk berjuang. Saya tidak ingin dipisahkan dari anak-anak saya,” ucapnya dengan suara terisak dalam salah satu kegiatan AIDA.

Ia bertekad membuktikan kepada semua orang bahwa ia mampu mendidik dan membesarkan ketiga buah hatinya. Baginya apa pun yang terjadi ia harus mendampingi tumbuh kembang mereka. Semangat juangnya bangkit. Seluruh waktunya ia curahkan demi anak-anak.

Baca juga 18 Tahun Bom Bali: Cinta untuk Mereka yang Tiada (Bag. I)

Hasil berdagang keliling di Dermaga Benoa pada malam hari bisa mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan ketiga buah hatinya. Waktu pagi hari ia biasa gunakan untuk mengantar anak-anak ke sekolah, siang untuk bekerja, sore hari menjemput anak-anak dan bermain bersama mereka.

Ia sangat bersyukur karena anak-anaknya mau mengerti perjuangannya dan patuh terhadap nasehat-nasehatnya. Kini mereka telah menempuh pendidikan di jenjang perguruan tinggi. Ketiga putrinya pun mewarisi semangat juang sang Ibu, di mana selain kuliah mereka juga bekerja. Cita-cita mendiang ayah untuk menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang sarjana telah terwujud.

“Pendidikan sangatlah penting, karena orang yang berilmu kelak bisa menolong dirinya sendiri dan juga bisa menolong orang lain,” ucap Rencini dalam salah satu kegiatan kampanye perdamaian virtual AIDA di SMAN 5 Surakarta belum lama ini.

Baca juga 18 Tahun Bom Bali: Cinta untuk Mereka yang Tiada (Bag. II-Terakhir)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *