14/01/2021

Mendakwahkan Akhlak

Oleh: Faruq Arjuna Hendroy
Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Ciputat

Konon, ada seorang pemuda yang tinggal di suatu negeri. Dia jengah dengan kondisi negerinya yang dipenuhi dengan kerusakan moral. Melihat hal tersebut, dia bertekad untuk mengubah negerinya menjadi lebih baik. Sebuah negeri yang bebas dari kemaksiatan, kejahatan, dan kesewenang-wenangan.

Bertahun-tahun dia berupaya mengubah negerinya, namun yang dia dapati hanyalah kegagalan. Dia pun merenung. Dalam benaknya, barangkali mengubah negeri itu tugas yang terlalu berat. Akhirnya dia menurunkan targetnya, dari mengubah negeri menjadi mengubah desanya saja. Dengan harapan, targetnya untuk menghilangkan kerusakan moral bisa tercapai.

Baca juga Berjihad Mesti dengan Ilmu

Meskipun begitu, ternyata mengubah desa tidak semudah yang dia bayangkan. Sama seperti sebelumnya, bertahun-tahun dia berupaya mengubah desanya, mengajak mereka meninggalkan segala bentuk kerusakan moral, pada akhirnya yang dia dapati kembali adalah kegagalan. Dia bahkan sudah mengubah strateginya menjadi lebih keras dari sebelumnya, namun warga desanya justru berbalik memusuhinya.

Untuk kesekian kalinya, dia merenung. Apakah tugas mengubah desa masih terlalu berat baginya. Padahal cakupan desa jauh lebih kecil dari negeri, kok masih gagal. Syahdan, melihat kenyataan pahit itu, dia pun kembali menurunkan targetnya, dari mengubah desa menjadi mengubah lingkungan keluarganya saja. Kali ini, dia optimis cita-citanya akan terwujud.

Baca juga Kerendahan Hati Membangun Perdamaian

Saking ingin mengubah keluarganya, dia tak segan-segan melakukannya dengan tangan besi, lebih keras dari strategi yang dia pakai saat ingin mengubah desa. Dalam bayangannya, dia berkuasa penuh atas keluarganya sehingga dia bisa melakukan apa saja. Ternyata cara ini pun tidak berhasil. Alih-alih berubah, keluarganya justru pergi meninggalkannya seorang diri. 

Saat itu terjadi, usianya sudah tua renta. Dia semakin tak habis pikir, mengapa susah sekali menghilangkan kerusakan moral ini. Mengapa susah sekali mengajak orang meninggalkan maksiat. Dari usia muda hingga kini sudah tua renta, cita-citanya itu tidak tercapai. Tahun demi tahun yang dia lalui seolah sia-sia.

Hingga pada akhirnya dia menyadari sesuatu. Dalam upayanya mengubah orang lain, dia tidak pernah menengok apakah dirinya sendiri sudah bersih dari perangai buruk. Apakah ketika mengajak orang untuk berubah, dia sudah melakukannya dengan akhlak yang baik. Apakah dakwahnya itu menyejukkan atau malah melukai hati orang lain. Cita-cita yang mulia sekalipun tidak akan pernah tercapai jika dilakukan dengan cara-cara yang salah.

Baca juga Keutamaan Bersikap Kaya

Laki-laki yang sudah tua renta ini pun mulai memperbaiki akhlaknya. Di sisa usianya, dia lebih fokus melakukan kebaikan demi kebaikan, menebar manfaat yang luas bagi masyarakat sekitar. Dia tidak lagi sibuk menyerang kesalahan orang lain, namun lebih banyak mencontohkan bagaimana menjadi pribadi yang baik dan bermoral. Tanpa disadari, banyak yang terpukau dengan akhlaknya yang terpuji, hingga sedikit demi sedikit mulai banyak orang yang mengikuti langkahnya.

Cerita di atas kurang lebih menggambarkan potret kelakuan sebagian umat Islam saat ini. Karena didorong oleh ‘nafsu’ ingin memperbaiki tatanan sosial masyarakat secara instan, mereka tak segan melakukan segala cara, termasuk menggunakan cara-cara di luar batas kemanusiaan. Maksud hati hendak menata moral masyarakat, tetapi justru masyarakat menjadi korban keganasan.

Baca juga Keistimewaan Musibah

Terorisme adalah bentuk nyata dari ilustrasi ini. Dalam berbagai studi tentang terorisme, hampir semua motif kelompok teror melakukan aksi adalah untuk menciptakan struktur masyarakat yang utopis, di mana umat Islam hidup dalam kejayaan. Mereka melihat umat Islam saat ini sedang berada dalam fase kesengsaraan, keterbelakangan, dan kerusakan. Mereka ingin mengubah itu semua dengan cara memaksa umat Islam menganut ideologi yang mereka yakini.

Satu hal yang mereka tidak pahami, aksi yang mereka lakukan justru kontraproduktif dengan tujuan yang ingin dicapai. Dengan melakukan aksi teror, citra kelompok mereka menjadi tercoreng. Bahkan Islam pun jadi ikut tercoreng, mengingat kelompok tersebut selalu membawa atribut agama dalam aksinya.

Umat Islam yang tidak ada sangkut pautnya ikut merasakan dampak dari tercorengnya identitas keislaman mereka, seperti maraknya kasus Islamophobia dan antiimigran. Mereka mendapatkan stigma negatif akibat perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan. Pendek kata, aksi teror justru hanya mengakibatkan kerugian bagi seluruh pihak, sementara tujuan utopis mereka tidak kunjung tercapai.

Baca juga Mengimunisasi Remaja

Strategi dakwah yang brutal itu tentu bertentangan dengan spirit perdamaian yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam sejarahnya, Nabi selalu mengajak orang untuk menyembah Allah dengan cara-cara yang baik, bukan dengan cara-cara yang kasar. Pun ketika orang-orang menolak ajakan atau bahkan merundungnya, beliau hanya bersabar dan membalasnya dengan doa. Beliau selalu menjaga sikapnya dari menyakiti orang lain.

Karakter mulia itulah yang membuat Nabi Muhammad SAW dikagumi oleh musuh-musuhnya, hingga kemudian mereka berbalik mengikuti dan mencintai beliau. Walhasil, tanah Arab takluk di tangan beliau hanya dalam waktu 23 tahun. Bahkan, ajaran cinta kasih beliau menyebar hingga ke seluruh pelosok bumi. Bisa dibayangkan jika dulunya beliau berdakwah dengan keras dan kasar, pastilah orang-orang akan menjauhi beliau. Jika itu terjadi, mungkin Islam tidak akan berkembang seperti sekarang.

Baca juga Bersyukur Pantang Mengeluh

Maka dari itu, penting bagi setiap muslim untuk menjadi pribadi yang menyenangkan bagi orang lain dan memberikan sebanyak-banyaknya manfaat. Orang-orang di luar Islam akan melihat kemuliaan Islam yang terpatri dalam diri para pemeluknya. Dengan sendirinya, citra Islam pun akan ikut terangkat.

Jika orang bisa saja menghina sebuah agama karena kebobrokan para penganutnya, maka orang juga bisa menyanjung sebuah agama karena kebaikan para penganutnya. Ini mengingatkan kita pada sebuah kutipan yang menarik; “Orang-orang di luar Islam tidak membaca Al Quran maupun Hadist, tetapi mereka membaca dirimu (umat Islam). Maka jadilah muslim yang baik.”

Baca juga Guru dan Pendidikan Karakter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *